Label

Selasa, 20 Februari 2018

SEPUTAR TAHLILAN

DOKUMENTASI TEAM DHF

SEPUTAR TAHLILAN
———————————————————————

✅Dalil Amaliyah NU

➡Peringatan 3, 7, 40 dan 100 Hari

 

👉Dalil yang digunakan Hujjah dalam masalah ini yaitu sebagaimana disebutkan dalam kitab
📖al-Hawi li-Al-Fatawi li al-Suyuthi, Juz II, hlm 183.

قال طاوس : ان الموتى يفتنون فى فبورهم سبعا فكانو يسقحبون أن يطعمواعنهم تلك الايام الى ان قال عن عبيد بن عمير قال : يفتن رجلان مؤمن ومنا فق فأما المؤ من فيفتن سبعا واما المنا فق يفتن اربعين صبا حا

“Imam Thawus berkata : Seorang yang mati akan beroleh ujian dari Allah dalamkunurnya selama tujuh hari. Untuk itu,sebaiknya mereka (yang masih hidup) mengadakan sebuah jamuan makan (sedekah) untuknya selama hari-hari tersebut. Sampai kata-kata: Dari sahabat Ubaid ibn Umair, dia berkata: Seorang mukmin dan seorang munafiq sama-sama akan mengalami ujian dalam kubur. Bagi seorang mukmin akan memperoleh ujian selama 7 hari, sedang seorang munafik selama 40 hari diwaktu pagi.”

👆Dalil diatas adalah atsar yang menurut imam al-Suyuthi derajatnya sama dengan hadist marfu’ mursal maka dapat dijadikan hujjah.

Menurut pandangan kitab 📓Nihayah al-Zain, Juz 1, halaman 281 juga disebutkan:

والتصدق عن الميت بوجه شر عي مطلو ب ولا يتقيذ بكونه في سبعة أيام او أكثر أو قل وتقيذه ببعض الايام من العوا ئد فقط كما افتى بذا لك السيداحمد دحلا ن , وقد جرت عادة الناس با لتصدق عن الميت في ثا لث من موته وفي سا بع وفي تمام العشرين وفي الآربعين وفي الما ئة , وبعد ذلك يفعل كل سنة حولا في يوم الوت كما افا د ه شيخنا يوسف السنبلا ويبي

“DIanjurkan oleh syara’ shodaqoh bagi si mayit, dan shodaqoh itu tidak ditentukan dihari ke tujuh sebelumnya maupun sesudahnya. Sesungguhnya pelaksanaan shodaqoh pada hari-hari tertentu itu cuma sebagai kebiasaan (adat) saja, sebagaimana  fatwa Sayyid Zaini Akhmad Dahlan yang mengatakan “Sungguh telah berlaku di masyarakat adanya kebiasaan bersedekah untuk mayit pada hari ketiga  dari kematian, hari ketujuh, dua puluh, dan ketika genap empat puluh hari serta seratus hari. Setelah itu dilakukan setiap tahun pada hari kematianya. Sebagaimana disampaikan oleh Syaikh Yusuf al-Sumbulawini.”

ان سنة الاء طعام سبعة أيام بلغي أنها مستمرة الى اءلان بمكة والمدينة فاالظا هر أنها لم تترك من عهد الصحا بة الى الان وأنهم أخذو ها خلفا عن سلف الى الصدرالاول (الحا وى للفتا وي ,

“Kebiasaan memberikan sedekah makanan selama tujuh hari merupakan kebiasaan yang tetap berlaku hingga sekarang (zaman imam Suyuthi, sekitar abad e IX Hijriyah) dimakkah dan madinah. Yang jelas, kebiasaan itu tidak pernah ditiinggalkan sejak masa sahabat nabi SAW sampai sekarang ini, dan tradisi itu diambil dari ulama salaf sejak generasi pertama (Masa sahabat saw)”’(al-Hawi li al-Fatawi, Juz II, hal. 194)

👉Yang jelas, kebiasaan ini tidak pernah ditinggalkan sejak sahabat Nabi saw sampai sekarang ini, dan tradisi itu diambil dari ulama salaf sejak generasi pertama. Sehingga dari beberapa dasar diatas dapat disimpulkan bahwa kebiasaan masyarakat tentang penentuan hari dalam peringatan kematian dapat dibenarkan menurut syara’.
___________________________________
👉Ini sekaligus persaksian (saksi mata) adanya kegiatan kenduri 7 hari di Makkah dan Madinah sejak dahulu kala. Hal ini kembali di kisahkan oleh al-‘Allamah al-Jalil asy-Syaikh al-Fadlil Muhammad Nur al-Buqis didalam kitab beliau yang khusus membahas kegiatan tahlilan (kenduri arwah) yakni “Kasyful Astaar” dengan menaqal perkataan Imam As-Suyuthi :

📓أن سنة الإطعام سبعة أيام بلغني و رأيته أنها مستمرة إلى الأن بمكة والمدينة من السنة 1947 م إلى ان رجعت إلى إندونيسيا فى السنة 1958 م. فالظاهر انها لم تترك من الصحابة إلى الأن وأنهم أخذوها خلفاً عن سلف إلى الصدر الإول. اه. وهذا نقلناها من قول السيوطى بتصرفٍ. وقال الإمام الحافظ السيوطى : وشرع الإطعام لإنه قد يكون له ذنب يحتاج ما يكفرها من صدقةٍ ونحوها فكان فى الصدقةِ معونةٌ لهُ على تخفيف الذنوب ليخفف عنه هول السؤل وصعوبة خطاب الملكين وإغلاظهما و انتهارهما.

👉“Sungguh sunnah memberikan makan selama 7 hari, telah sampai informasi kepadaku dan aku menyaksikan sendiri bahwa hal ini (kenduri memberi makan 7 hari) berkelanjutan sampai sekarang di Makkah dan Madinah (tetap ada) dari tahun 1947 M sampai aku kembali Indonesia tahun 1958 M. Maka faktanya amalan itu memang tidak pernah di tinggalkan sejak zaman sahabat nabi hingga sekarang, dan mereka menerima (memperoleh) cara seperti itu dari salafush shaleh sampai masa awal Islam. Ini saya nukil dari perkataan Imam al-Hafidz as-Suyuthi dengan sedikit perubahan.
👉al-Imam al-Hafidz As-Suyuthi berkata : “disyariatkan memberi makan (shadaqah) karena ada kemungkinan orang mati memiliki dosa yang memerlukan sebuah penghapusan dengan shadaqah dan seumpamanya, maka jadilah shadaqah itu sebagai bantuan baginya untuk meringankan dosanya agar diringankan baginya dahsyatnya pertanyaan kubur, sulitnya menghadapi menghadapi malaikat, kebegisannyaa dan gertakannya”
____________________________________
❗Oleh karena itu, keliru jika dikatakan bahwa 7 hari semata-mata di ambil dari budaya hindu hanya karena adanya kemiripan. Mirip tidak berarti bahwa itu sama, bahkan dari segi asasnya pun sudah berbeda. Adapun terkait istilah 14 hari, 20 hari, 40 hari, 100 hari, haul (setahun), 1000 hari dan seterusnya maka itu boleh dengan penentuan hari untuk melakukan kebajikan atau tanpa penentuan hari sebab itu bisa di lakukan kapan saja. 👉Sebab amaliyah tersebut boleh dilakukan kapan saja atau dengan penentuan waktu. Seperti halnya penentuan waktu belajar (menuntut ilmu tertentu) sedangkan menuntut ilmu sendiri merupakan kewajiban, menentukan hari dalam mengkhatamkan al-Qur’an dengan menetapkan semisal satu hari menyelesaikan satu juz atau sejumlah ayat tertentu, ini boleh demi ketertiban (bab tartib), dan lain sebagainya. Demikian juga mendo’akan orang mati dan dzikir-dzikir lain adalah tidak apa-apa (boleh) dilakukan di hari-hari apa saja atau menentukannya sesuai keadaan tertentu apalagi dipandangan sebagai sebuah kemaslahatan dan tidak ada larangannya.
👉Oleh karena itulah, al-Imam al-Hafidz Ibnu Hajar al-Asqalaniy asy-Syafi’i mengatakan ketika mengomentari sebuah 📓hadits al-Bukhari no. 1118 terkait juga penentuan hari, sebagai berikut ;

وفي هذا الحديث على اختلاف طرقه دلالة على جواز تخصيص بعض الأيام ببعض الأعمال الصالحة والمداومة على ذلك

“Dan didalam hadits ini jalurnya diperselisihkan, yang menunjukkan atas kebolehkan (jaiz) pengkhususan sebagian hari-hari dengan amal-amal shalihah dan berkelanjutan (terus-terusan) melakukannya”.

👉Dengan demikian, tidaklah masalah menentukan hari-hari tertentu untuk melakukan amal-amal shalih, dan ini tidak hanya dalam hal tahlilan saja, termasuk kegiatan-kegiatan lainnya selama bukan ibadah mahdlah atau ibadah yang terikat dengan rukun, waktu dan sebagainya seperti shalat fardlu dan lainnya.

⁉Meskipun, seandainya penentuan hari seperti itu bermula dari warisan ajaran hindu, namun hal tersebut telah menjadi kultur budaya masyarakat sehingga pembahasannya pun terkait dengan “al-Adaat”. Oleh karena itu, ulama seperti walisongo dan dai-dai Islam lainnya dengan hanya menggiring dan mengarahkan budaya yang penuh kemusyrikan tersebut ke budaya yang benar sesuai dengan syariat Islam berdasarkan pertimbangan dengan kaidah-kaidah syariat, sehingga yang awalnya (seperti) menyiapkan makanan sesajen untuk roh orang mati dengan menyakini bahwa roh orang mati memakan sesajen tersebut, maka diarahkan agar makanan tersebut sebagai bentuk shadaqah atas nama orang mati yang diberikan kepada orang yang masih hidup, dan orang mati mendapatkan manfaat dengan hal tersebut atas rahmat Allah Ta’alaa, inilah yang tepat menurut syariat Islam. Hal semacam ini tidaklah keluar dari tatanan syariat Islam bahkan sesuai dengan syarit Islam, sebagaimana sebuah kisah ketika digantinya budaya Jahiliyyah yakni melumuri kepala bayi dengan darah hewan sembelihan kemudian diganti dengan melumurinya dengan miyak za’faraan, disebutkan pada sebuah hadits shahih yang tercantum didalam 📚Sunan Abi Daud [2843] dan As-Sunan al-Kubraa lil-Imam al-Baihaqi [9/509] :

عَنْ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ بُرَيْدَةَ، قَالَ: سَمِعْتُ أَبِي بُرَيْدَةَ، يَقُولُ: كُنَّا فِي الْجَاهِلِيَّةِ إِذَا وُلِدَ لِأَحَدِنَا غُلَامٌ ذَبَحَ شَاةً وَلَطَخَ رَأْسَهُ بِدَمِهَا، فَلَمَّا جَاءَ اللَّهُ بِالْإِسْلَامِ كُنَّا «نَذْبَحُ شَاةً، وَنَحْلِقُ رَأْسَهُ وَنُلَطِّخُهُ بِزَعْفَرَانٍ

“Dari ‘Abdullah bin Buraidah, ia berkata : aku mendengar Abu Buraidah mengatakan : ketika kami masih di masa Jahiliyyah, apabila seorang bayi di lahirkan pada salah satu dari kami, menyembelih seekor kambing, dan melumuri kepalanya dengan darah kambing sembelihan, maka tatkala Allah mendatangkan Islam, kami tetap menyembelih kambing, memotong rambutnya namun melumuri kepalanya dengan minyak za’faraan”.

👉Al-Syawkani didalam Nailul Awthar [5/ 16] dan disebutkan juga didalam ‘Aunul Ma’bu📓 [8 33]dikomentari sebagai berikut :

قوله: (ونلطخه بزعفران) فيه دليل على استحباب تلطيخ رأس الصبي بالزعفران أو غيره من الخلوق كما في حديث عائشة المذكور

“Frasa : (dan kami melumurinya dengan minyak za’faraan), padanya merupakan dalil atas disunnahkannya melumuri kepala bayi dengan minyak za’faraan atau yang lainnya sebagaimana didalam hadits ‘Aisyah yang telah disebutkan”.

👉Lebih jauh lagi, istilah 40 hari pun sebenarnya dikenal dalam sebuah riwayat ‘Ubaid bin ‘Umair. Ini disebutkan didalam Hasyiyah al-Suyuthi ‘alaa Sunan al-Nasaa’i [4/104] karangan Imam al-Suyuthi (w 911 H).

وروى بن جريج في مصنفه عن الحرث بن أبي الحرث عن عبيد بن عمير قال يفتن رجلان مؤمن ومنافق فأما المؤمن فيفتن سبعا وأما المنافق فيفتن أربعين صباحا

“Ibnu Juraij meriwayatkan didalam Mushannafnya dari al-Harits bin Abul Harits, dari ‘Ubaid bin Umair, ia berkata : “dua orang mengalami fitnah qubur yaitu orang mukmin dan orang munafiq ; orang mukmin mengalami fitnah qubur selama 7 hari, sedangkan orang munafiq mengalami fitnah qubur selama 40 hari”.

👉Imam al-Suyuthi juga menyebutkan didalam kitab al-Daibah ‘alaa Shahih Muslim atau dikenal dengan Syarh al-Suyuthi ‘alaa Muslim [2/491] sebagai berikut :

روى أَحْمد بن حَنْبَل فِي الزّهْد وَأَبُو نعيم فِي الْحِلْية عَن طَاوس أَن الْمَوْتَى يفتنون فِي قُبُورهم سبعا فَكَانُوا يستحبون أَن يطعموا عَنْهُم تِلْكَ الْأَيَّام إِسْنَاده صَحِيح وَله حكم الرّفْع وَذكر بن جريج فِي مُصَنفه عَن عبيد بن عُمَيْر أَن الْمُؤمن يفتن سبعا وَالْمُنَافِق أَرْبَعِينَ صباحا وَسَنَده صَحِيح أَيْضا وَذكر بن رَجَب فِي الْقُبُور عَن مُجَاهِد أَن الْأَرْوَاح على الْقُبُور سَبْعَة أَيَّام من يَوْم الدّفن لَا تُفَارِقهُ

“.... sanadnya shahih juga, dan Ibnu Rajab menyebutkan tentang qubur dari Mujahid bahwa ruh-ruh berada diatas qubur selama 7 hari sejak di makamkan serta tidak memisahkannya”.

Semoga Bermanfaat
والله أعلم بالصواب

http://diskusihukumfiqh212.blogspot.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

MEMAKAI CELAK SAAT PUASA

KESIMPULAN TEAM DHF HUKUM MEMAKAI CELAK MATA SAAT BERPUASA ----------------------------- 📝 PERTANYAAN: assalamu'alaikum Bagaimana ...