Label

Rabu, 20 Desember 2017

HUKUM MENGGUNAKAN OBAT ANTI HAID

KESIMPULAN TEAM DHF
بسم الله الرحمن الرحيم.

Hukum menggunakan obat ANTI HAIDL.
_________________
Boleh dan makruh bila tidak sampai merusak kesehatan, tidak merusak rahim/kesuburan rahim sehingga menimbulkan efek tidak bisa hamil.

Catatan bila sekiranya mengandung dhoror seperti di atas maka HARAM HUKUM nya.

Secara rinci kami jelaskan sebagai Berikut:

Dalam penggunaan OBAT ANTI HAIDL/PELANCAR HAIDL tersebut jelas sekali ada tanda-tanda yang tidak boleh di tabrak

Yaitu illat /efek dhoror.

Jika memang jelas ada dhoror merusak kandungan/rahim
Baru lah hukum haram itu terjadi.

Ulama selalu memberi garis bawah dalam fatwa nya

Sebab Ulama tidak pernah menafikan dalil-dalil yang lain.

Jika paling baik menjalani apa adanya, yang asli atas petunjuk ahli medis

Meskipun pengaturan haid diperbolehkan, namun jika sampai menimbulkan kerusakan dalam tubuh, hukumnya tentu menjadi haram. Demikian disinyalir dalam sebuah kaidah ushuliyah yang berbunyai:

“Pada dasarnya setiap yang mengandung mudharat adalah haram dan yang mengandung manfaat adalah halal”.

Berdasarkan ulama fiqih'
Halal' yg mengandung manfaat'

___________

Fataammal:
(Pikitkanlah)

Untuk mempertegas firman Allah s.w.t. tersebut, dalam sebuah riwayat Nabi s.a.w. bersabda :

“Haid itu adalah suatu yang ditetapkan Allah terhadap kaum perempuan bani Adam”(HR. Bukhari).

Dalam syari’at Islam, keluarnya darah haid ini berpengaruh pada pelaksanaan ibadah. Sampai disini, para ahli fiqh bersilang pendapat tentang apa saja yang haram untuk dikerjakan.

Namun ada beberapa hal yang haram untuk dikerjakan. Antara lain, dilarang mengerjakan shalat, puasa, baik wajib maupun sunnah, sujud tilawah dan sujud syukur. Selanjutnya, diharamkan juga melaksanakan tawaf, lewat atau berdiam diri di masjid, menyentuh dan membawa mushaf, membaca al-qur’an, bersesuci dari hadats, baik besar maupun kecil. Sebagian menambahkan, perempuan haid haram ditalak atau diceraikan. Terakhir, haram melakukan senggama (jima’).

Sumber :(al-Mabahuts, III, 152; al-Syiraj al-Wahhaj, I, 238; al-Fatawa al-Hindiah, I, 51-52).

____________

Lebih jauh, ternyata keluarnya darah haid juga bisa ‘diakali’. Salah satu caranya, dengan mengkonsumsi obat-obatan tertentu yang berguna sebagai penunda atau mempercepat datangnya haid. Tentu saja, pengaturan ini disesuaikan dengan kebutuhan. Sebagai tamtsil, kebutuhan yang berhubungan dengan pelaksanaan ibadah. Di mana pelaksanaannya sangat terkait dengan datang bulannya seorang perempuan. Contohnya saja berpuasa dibulan ramadlan, sebagaimana disinggung di atas.

Tapi apakah praktik ini dibenarkan oleh Islam? Ternyata dalam beberapa literatur fiqh, para ulama’ menghukumi boleh praktik seperti itu. diantaranya, ulama’ Malikiyah dan Hanabilah memandang, bahwa pengaturan haid seperti mempercepat atau menunda hukumnya boleh (jawaz). Namun, dengan catatan pengaturan itu tidak menimbulkan efek negatif (dlarar) bagi si wanita dan menggunakan obat yang sudah dikenal

Sumber (Fiqh ‘Ala Madzahib al-‘Rba’ah, I, 126; Mughni Wa Syarh al-Kabir, I, 408).

______________
Secara medis pun, praktik seperti ini bisa dibenarkan, diiringi dengan pengawasan yang teliti sesuai standar ilmu kesehatan. Oleh karenanya, DR. Yusuf Qardlawi menambahkan bahwa pengaturan haid ini juga harus dikonsultasikan dulu dengan dokter yang ahli di bidang haid

SUMBER RUJUKAN:.(Fatawa Mu’ashiroh, I, 322).

Kaitannya dengan pelaksanaan ibadah, kebolehan pengaturan haid ini tentu tidak bisa dipukul rata. Artinya, belum tentu boleh melakukan pengaturan haid untuk semua jenis ibadah yang terkait dengannya. Sering dan tidaknya ibadah itu dilakukan, juga harus diperhatikan. Hal ini terkait untuk menghindari efek negatif yang mungkin saja terjadi. Meskipun pengaturan haid diperbolehkan, namun jika sampai menimbulkan kerusakan dalam tubuh, hukumnya tentu menjadi haram. Demikian disinyalir dalam sebuah kaidah ushuliyah yang berbunyai:

“Pada dasarnya setiap yang mengandung mudharat adalah haram dan yang mengandung manfaat adalah halal”.

Dari pada itulah, jika memperhatikan tingkat bahaya pengaturan haid itu, maka sangat mungkin melakukannya dalam jenis ibadah haji dan puasa. Apa alasannya? tentu saja karena kedua ibadah tadi memiliki rentang waktu pelaksanaan yang cukup panjang. Dengan demikian, kemungkinan timbulnya efek negatif menjadi kecil. Lain halnya dengan shalat yang sering dilakukan. Dapat dibayangkan jika kita terus-terusan menunda haid demi keinginan agar terus dapat melakukan, maka selama itu pula darah tidak keluar. Kondisi ini jelas sangat berbahaya bagi kesehatan. Oleh karenanya, mengatur haid untuk jenis ibadah shalat bisa dihukumi haram.

Selanjutnya, kalau memang mengatur haid itu diperbolehkan, manakah yang lebih baik dilakukan, antara meninggalkan ibadah karena  datang haid atau menunda haid demi ibadah? Untuk menjawabnya, kita harus memperhatikan beberapa hal penting tentang ibadah tesebut.

Untuk ibadah haji misalnya, pertimbangan waktu dan biaya tampak paling menonjol, ibadah haji ini dilakukan sekali dalam satu tahun dengan menggunakan biaya yang tidak sedikit. Jika ibadah ini tidak dapat diselesaikan karena datang haid (pada saat tawaf) sehingga harus diulang (qadla’) pada waktu yang lain, jelas akan sangat memberatkan. Siapa yang tahu dia tetap mampu pergi haji pada tahun yang akan datang, sementara qadla’ haji itu menjadi kewajibannya? Maka, demi menghindari hal itu, manunda haid adalah solusi yang tepat.

Sementara untuk ibadah puasa di bulan ramadhan, yang dapat menjadi pertimbangan diantaranya adalah kenyataan bahwa bulan ini mengandung beberapa keistimewaan dan keutamaan. Dalam bulan ini, Allah memberikan kemurahan  dengan melipatkan pahala ibadah, lebih dari bulan-bulan yang lainnya. Pada bulan ramadhan, pahala ibadah sunnah disamakan dengan dengan ibadah fardlu, sedangkan satu ibadah fardlu disamakan dengan tujuh puluh ibadah fardlu.

SUMBER(I’anah al-Thalibin, II, 255).

Dalam keterangan lain dari Anas bin Malik, dikatakan bahwa Rasulullah bersabda, yang artinya ; “Barangsiapa melaksanakan shalat jama’ah (pada bulan ramadhan) secara terus menerus, maka Allah akan membalas setiap rakaatnya dengan limpahan nikmat yang tak terhingga”.

******************
Refrensi RUJUKAN.

وَفى فَتَاوى القماط ماحاصله جوازُ استعمال الدواء لمنع الحيض اهـ

(تلخص المراد في فتاوي ابن زياد  ٢٤٧)

إذا استعملت المرأة دواء لرفع دم الحيض أو تقليله فإنه يكره ما لم يلزم عليه قطع النسل أو قلته وإلا حرم.
كما في حاشية الخرشي
(قرة العين فتاوي علماء الحرمين ٣٠)
______________

مسألة. اذا استعملت المرأة دواء لمنع دم الحيض او تقليله فإنه يكره مالم يلزم عليه قطع النسل او قلته.
________________________________

المذهب اﻷربعة.

أماإذا خرج دم الحيض بسبب دواء في غيرموعده فإن الظاهر عندهم يسمى حيضا.
فعلى المراة ان تصوم وتصلي ولكن عليها ان تقضي الصيام احتياطا لاحتمال ان يكون حيضاولاتنقضي به عدتها وهذا بخلاف ما إذا استعملت دواء ينقطع به الحيض في غير وقته المعتاد.
فإنه يعتبر طهرا، وتنقضي به العدة على انه لايجوزللمراة ان تمنع حيضهااوتستعجل إنزاله اذا كان ذلك يضر صحتها ﻷن المحافظة على الصحة واجبة.

Wallohua'lam bishowwab.
Diskusihukumfiqh212.blogspot.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

MEMAKAI CELAK SAAT PUASA

KESIMPULAN TEAM DHF HUKUM MEMAKAI CELAK MATA SAAT BERPUASA ----------------------------- 📝 PERTANYAAN: assalamu'alaikum Bagaimana ...