Label

Rabu, 11 Oktober 2017

HUKUM MENIKAHI WANITA HAMIL/STATUS ANAK YANG DILAHIRKAN

KESIMPULAN TEAM MUSYAWWIRIN DHF
_________________________________
HUKUM MENIKAHI WANITA HAMIL/STATUS ANAK YANG DI LAHIRKAN

Madzhab Syafi'i dan Hanafi menganggap sah pernikahan ini tanpa harus menunggu anak zina lahir. Dengan alasan tidak ada keharaman pada anak zina karena tidak ada nasab (keturunan).

⬇⬇⬇⬇⬇⬇⬇⬇⬇⬇

Status anak yang dilahirkan diperinci sebagai berikut :

1.Jika dilahirkan lebih dari enam bulan dan kurang dari empat tahun setelah akad nikahnya, maka ada dua keadaan.

2.Jika ada kemungkinan anak tersebut dari suami, karena ada hubungan badan setelah akad nikah misalnya, maka nasabnya tetap ke suami, berarti berlaku baginya hukum-hukum anak seperti hukum waris dll. Karena itu suami diharamkan meli’an istrinya atau meniadakan nasab anak tersebut darinya (tidak mengakui sebagai anaknya).

3.Jika tidak memungkinkan anak tersebut darinya seperti belum pernah ada hubungan badan semenjak akad nikah hingga melahirkan, maka nasab anak hanya ke istri bahkan wajib bagi suami meli’an dengan meniadakan nasab anak darinya (tidak mengakui sebagai anaknya).

Hal ini untuk menjaga agar tidak terjadi hak waris kepada anak.

4.Jika dilahirkan kurang dari enam bulan atau lebih dari empat tahun, maka anak tersebut tidak bisa dinasabkan kepada suami dan tidak wajib bagi suami untuk meli’an istrinya. Bagi anak tidak berhak mendapatkan waris karena tidak ada sebab-sebab yang mendukung hubungan nasab.

Ini berlaku bagi anak yang dilahirkan laki-laki ataupun perempuan.

Berarti bapak sebagai wali dalam menikahkan anak perempuannya jika diakui nasabnya dan hakim sebagai walinya jika tidak diakui nasabnya.

Perlu diperhatikan, walaupun status anak tidak bisa dinisbatkan kepada suami, tetap dinyatakan mahram baginya dikarenakan dia menjadi suami ibunya yang melahirkannya (bapak tiri) jika telah berhubungan badan dengan ibu yang melahirkannya.

CATATAN :

Perempuan yang hamil di luar nikah jika dinikahkan dengan laki-laki yang berhubungan badan dengannya atau yang lainnya dengan tujuan menutupi aib pelaku atau menjadi ayah dari anak dalam kandungan, maka haram hukumnya dan wajib bagi penguasa membatalkan acara itu. Bagi yang menghalalkan acara itu dengan tujuan tersebut di atas, dihukumi keluar dari agama islam dan dinyatakan murtad (haram dishalati jika meninggal, dan tidak dikubur dimakam islam) karena adanya penipuan nasab dengan berkedok agama sehingga mengakui bayi yang lahir sebagai anaknya padahal diluar nikah, mendapatkan warisan padahal sebenarnya bukan dzawil furudh, menjadi wali nikah jika yang lahir perempuan padahal bukan menjadi ayahnya yang sebenarnya (berarti nikahnya tidak sah), atau anak yang lahir menjadi wali nikah dari keluarga laki-laki yang mengawini ibunya, bersentuhan kulit dengan saudara perempuan laki-laki itu dengan berkeyakinan tidak membatalkan wudlu’ dst.

↘↘↘↘↘↘↘↘↘↘

Berikut keterangan dari kitab-kitab mazhab Syafi'i

- As-Syairazi dalam Al-Muhadzab 2/113

وَيَجُوزُ نِكَاحُ الحَامِلِ مِنَ الزِّنَا لأَنَّ حَمْلَهَا لاَيَلْحَقُ بِأَحَدٍ فَكَانَ وُجُودُهُ كَعَدَمِهِ

Artinya: Boleh menikahi wanita hamil dari perzinaan, karena sesungguhnya kehamilannya itu tidak dapat dipertemukan kepada seseorangpun, sehingga wujud dari kehamilan tersebut adalah seperti ketiadaannya.

- Ba alwi dalam Bughyatul Musytarsyidin hlm. 201 menyatakan:

(مَسْأَلَةُ ش) وَيَجُوزُ نِكَاحُ الحَامِلِ مِنَ الزِّنَا سَوَاءُ الزَّانِى وَغَيْرِهِ وَوَطْءُهَا حِيْنَئِذٍ مَع الكَرَاهَةِ

Artinya: Boleh menikahi wanita yang hamil dari perzinaan, baik oleh laki-laki yang menzinainya atau oleh lainnya dan menyetubuhi wanita pada waktu hamil dari zina tersebut adalah makruh.

- Al-Jazari dalam Al-Fiqh ala Madzahibil Arbaah juz 4/533 menyatakan:

أَمَّا وَطْءِ الزِّنَا فَإنَّهُ لاَ عِدَّةَ فِيْهِ وَيَحِلُّ التَّزْوِيْجُ بِالحَامِلِ مِنَ الزِّنَا وَوَطْءِهَا وَهِيَ حَامِلٌ عَلَى الأصَحِّ وَهَذَا عِنْدَ الشَّافِعِى

Artinya: Adapun hubungan seksual dari perzinaan, maka sesungguhnya tidak ada 'iddah padanya. Halal mengawini wanita yang hamil dari perzinaan dan halal menyetubuhinya sedangkan wanita tersebut dalam keadaan hamil menurut pendapat yang lebih kuat. Pendapat ini adalah pendapat Syafii.
_____________

Dalam.kitab
Raudhah:

فرع لو نكح حاملا من الزنا صح نكاحه بلا خلاف

وهل له وطؤها قبل الوضع وجهان أصحهما نعم إذ لا حرمة له ومنعه ابن الحداد

روضة الطالبين وعمدة المفتين ج8 ص375

Atau dalam Fathul Bari:

قال بن عبد البر وقد أجمع أهل الفتوى من الأمصار على أنه لا يحرم على الزاني تزوج من زنى بها

فتح البار ج9 ص164

➡➡➡➡➡➡➡➡
➡ibaroh status anak zina menurut pandangan Sayed Ba Alwi Al-Hadrami dalam kitab Bughiyatul Mustarsyidin:235_236

نكح حاملاً من الزنا فولدت كاملاً كان له أربعة أحوال ، إما منتف عن الزوج ظاهراً وباطناً من غير ملاعنة ، وهو المولود لدون ستة أشهر من إمكان الاجتماع بعد العقد أو لأكثر من أربع سنين من آخر إمكان الاجتماع ، وإما لاحق به وتثبت له الأحكام إرثاً وغيره ظاهراً ، ويلزمه نفيه بأن ولدته لأكثر من الستة وأقل من الأربع السنين ، وعلم الزوج أو غلب على ظنه أنه ليس منه بأن لم يطأ بعد العقد ولم تستدخل ماءه ، أو ولدت لدون ستة أشهر من وطئه ، أو لأكثر من أربع سنين منه ، أو لأكثر من ستة أشهر بعد استبرائه لها بحيضة وثم قرينة بزناها ، ويأثم حينئذ بترك النفي بل هو كبيرة ، وورد أن تركه كفر ، وإما لاحق به ظاهراً أيضاً ، لكن لا يلزمه نفيه إذا ظن أنه ليس منه بلا غلبة ، بأن استبرأها بعد الوطء وولدت به لأكثر من ستة أشهر بعده وثم ريبة بزناها ، إذ الاستبراء أمارة ظاهرة على أنه ليس منه لكن يندب تركه لأن الحامل قد تحيض ، وإما لاحق به ويحرم نفيه بل هو كبيرة ، وورد أنه كفر إن غلب على ظنه أنه منه ، أو استوى الأمران بأن ولدته لستة أشهر فأكثر إلى أربع سنين من وطئه ، ولم يستبرئها بعده أو استبرأها وولدت بعده بأقل من الستة ، بل يلحقه بحكم الفراش ، كما لو علم زناها واحتمل كون الحمل منه أو من الزنا ، ولا عبرة بريبة يجدها من غير قرينة ، فالحاصل أن المولود على فراش الزوج لاحق به مطلقاً إن أمكن كونه منه ، ولا ينتفي عنه إلا باللعان والنفي ، تارة يجب ، وتارة يحرم ، وتارة يجوز ، ولا عبرة بإقرار المرأة بالزنا ،
وإن صدقها الزوج وظهرت أماراته

Al-Khatib As-Syarbini dalam Mughnil Muhtaj membuat pernyataan senada:

تنبيه: سكت المصنف عن القذف وقال البغوي: إن تيقن مع ذلك زناها قذفها ولاعن وإلا فلا يجوز؛ لجواز كون الولد من وطء شبهة، وطريقه كما قال الزركشي، أن يقول: هذا الولد ليس مني وإنما هو من غيري، وأطلق وجوب نفي الولد، ومحله إذا كان يلحقه ظاهرا.

Inti dari pandangan madzhab Syafi’i, Maliki dan Hanbali dalam kasus ini adalah bahwa anak yang terlahir dari hamil zina yang ibunya menikah saat hamil dengan lelaki bukan yang menghamili, maka status anak dinasabkan pada ibunya secara mutlak. Bukan pada bapaknya. Begitu juga anak hanya mendapat hak waris dari ibunya. Sedang wali nikahnya apabila anak itu perempuan adalah wali hakim.

Kitab Bughyatul Mustarsyidin, hal 242, dikatakan tentang absah-nya seorang pria menikahi wanita yang sedang hamil dari zina.

نكح حاملا من الزنا فأتت بولد لزمن امكانه منه بأن ولدت لستة أشهر ولحظتين من عقده وامكان وطئه لحقه وكذا ان جهلت المدة ولم يدر هل ولدته لمدة الإمكان أو لدونها على الراجح وان ولدته لدونها لم يلحقه ..... لعل الصواب.

Seorang laki-laki yang mengawini wanita hamil dari zina. Kemudian wanita itu melahirkan anak dalam masa yang mungkin anak itu dari laki-laki yang mengawininya, yaitu bahwa wanita itu melahirkan sesudah enam bulan dan dua detik dari mulai akad nikahnya dan kemungkinan persetubuhannya, terbangsalah anak itu kepada laki-laki yang menikahinya. Dan demikian pula jika tidak diketahui apakah perempuan itu melahirkan bayi dalam masa yang memungkinkan laki-laki yang menikahinya untuk menyetubuhinya atau kurang dari masa itu, menurut qaul yang lebih jelas. Dan jika wanita yang hamil itu melahirkan bayi kurang dari masa itu, maka bayi yang dilahirkan tidak dapat dibangsakan kepadanya kepada laki-laki yang mengawininya.

Wallohua'lam bishowwab

Blog------->>>> Diskusihukumfiqh212@blogspot.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

MEMAKAI CELAK SAAT PUASA

KESIMPULAN TEAM DHF HUKUM MEMAKAI CELAK MATA SAAT BERPUASA ----------------------------- 📝 PERTANYAAN: assalamu'alaikum Bagaimana ...