Label

Sabtu, 31 Maret 2018

HUKUM MEMPERCAYAI RAMALAN

KESIMPULAN TEAM DHF

HUKUM MEMPERCAYAI RAMALAN
=========================

⏩ PERTANYAAN

Assalamualaikum ustad saya maok bertaya gmna hukumya klo ada seseorang yg mempuyai klebihan ilmu dalam dya melihat telpak tangan seseorang dan dya bilng klo suatu saat nnti ktika dya mnikah dya akan di madu oleh suamiya apa perktaan orang itu harus kita percayai
Mohon penjelasanya....
Waalaikumsalam wb.

⏩ JAWABAN

وعليكم السلام ورحمة الله وبركاته

➡Mempercayai ramalan tidak boleh, bahkan bisa syirik

.وقد صح عن رسول الله صلى الله عليه وسلم أنه قال "من أتى عرافا لم تقبل له صلاة أربعين يوما"، ورواية مسلم" من أتى عرافا فسأله عن شيئ فصدقه". كفاية الأخيار ١/٤٩

➡Barang siapa mendatangi peramal dan mempercayainya maka shalatnya tidak di terima selama 40 hari. HR.MUSLIM

📝Kesimpulan

👉Apabila seseorang bertanya pada dukun ramal serta yakin atas kebenarannya bahwa dukun itu mengetahui masal gaib, maka hukumnya kafir. Apabila orang yang datang ke dukun itu meyakini bahwa adalah jin yang membisikkan pada dukun itu mendengar dari malaikat atau melalui ilham lalu percaya dari arah ini maka tidak kafir.

👉YUSUF QARDHAWI
Dalam salah satu fatwanya terkait fenemona banyaknya orang yang suka membaca ramalan bintang di media, Qardhawi menyatakan:

Seandainya umat Islam sadar dan mengerti bahwa perkara ghaib hanya bisa diketahui oleh Allah, dan bahwa seseorang tidak akan tahu apa yang akan terjadi besok, dan bahwa mengaku tahu perkara ghaib itu bagian dari kekufuran, dan bahwa mempercayai hal itu bagian dari kesesatan, dan bahwa tukang ramal, dukun dan bahwa ahli ilmu nujum dan serupa dengan itu adalah para penipu yang menyesatkan-- maka niscaya terjebak pada kebatilan ini dan niscaya tidak ada orang muslim yang akan menulis atau membaca ramalan bintang.

👉kalau menyakini bahwa hal tersebut di atas punya pengaruh maka dihukumi syirik, bila tidak meyakini punya pengaruh maka tidak apa-apa.

👉agar terhindar dari syirik harus meyakini bahwa yang menciptakan segala sesuatu adalah Allah yakni yang memberi mudlorot dan manfaat hanya ALLAH.

Wallahu'alam

📚 REFERENSI

📓غاية تلخيص المراد بهامش بغية المسترشدين ص: 206 دار الفكر

(مسألة) إذا سأل رجل آخر هل ليلة كذا أو يوم كذا يصلح للعقد أو النقلة فلا يحتاج إلى جواب لأن الشارع نهى عن اعتقاد ذلك وزجر عنه زجرا بليغا فلا عبرة بمن يفعله وذكر ابن الفركاح عن الشافعى أنه إن كان المنجم يقول ويعتقد أنه لا يؤثر إلا الله ولكن أجرى الله العادة بأنه يقع كذا عند كذا والمؤثر هو الله عز وجل فهذا عندى لا بأس فيه وحيث جاء الذم يحمل على من يعتقد تأثير النجوم وغيرها من المخلوقات وأفتى الزملكانى بالتحريم مطلقا وأفتى ابن الصلاح بتحريم الضرب بالرمل وبالحصى ونحوها قال حسين الأهدل وما يوجد من التعاليق فى الكتب من ذلك فمن خرافات بعض المنجمين والمتحذلقين وترهاتهم لا يحل اعتقاد ذلك وهو من الاستقسام بالأزلام ومن جملة الطيرة المنهى عنها وقد نهى عنه على وابن عباس رضى الله عنهما .

📓تحفة المريد ص: 58

فمن اعتقد أن الأسباب العادية كالنار والسكين والأكل والشرب تؤثر فى مسبباتها الحرق والقطع والشبع والرى بطبعها وذاتها فهو كافر بالإجماع أو بقوة خلقها الله فيها ففى كفره قولان والأصح أنه ليس بكافر بل فاسق مبتدع ومثل القائلين بذلك المعتزلة القائلون بأن العبد يخلق أفعال نفسه الإختيارية بقدرة خلقها الله فيه فالأصح عدم كفرهم ومن اعتقد المؤثر هو الله لكن جعل بين الأسباب ومسبباتها تلازما عقليا بحيث لا يصح تخلفها فهو جاهل وربما جره ذلك إلى الكفر فإنه قد ينكر معجزات الأنبياء لكونها على خلاف العادة ومن اعتقد أن المؤثر هو الله وجعل بين الأسباب والمسببات تلازما عادي بحيث يصح تخلفها فهو المؤمن الناجى إن شاء الله إه

📓بغية المسترشدين ص : ٢٩٧

👈.أما جعل الوسائط بين العبد وبين ربه فإن كان يدعوهم كما يدعو الله تعالى في الأمور ويعتقد تأثيرهم في شيئ من دون الله فهو كفر وإن كان مراده التوسل بهم إلى الله تعالى في قضاء مهماته مع اعتقاده أن الله هو النافع الضار المؤثر في الأمور فالظاهر عدم كفره وإن كان فعله قبيحا.

👈إن سأله معتقدا صدقه ، وأنه يعلم الغيب فإنه يكفر .
ـ فإنْ اعتقد أنَّ الجن تُلْقِي إليه ما سمعته من الملائكة أو أنه بإلهام فصدقه من هذه الجهة لا يكفر

👈ولو وعى الناس وفقهوا أن الغيب لا يعلمه إلا الله، وأن نفسًا لا تدري ماذا تكسب غدا، وأن التهجم على ادعاء الغيب ضرب من الكفر، وأن تصديق ذلك ضرب من الضلال، وأن العرافين والكهنة والمنجمين وأشباههم كذبة مضللون - ما نفقت سوق هذا الباطل، ولا وجد من يكتبه أو يقرؤه بين المسلمين

والله أعلم بالصواب
http://Diskusihukumfiqh212.blogspot.com

HUKUM ZAKAT PROFESI

KESIMPULAN TEAM MUSYAWWIRIN DHF

HUKUM ZAKAT PROFESI
====================
PERTANYAAN:

السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ

Mau tanya ust, bagaimana hukum zakat profesi atau zakat gaji? Terimakasih

Jawab:

وعليكم السلام ورحمة الله وبركاته

👉Divinisi zakat profesi menurut ulama' mutakhiriin:

Menurut bahasa zakat profesi dikenal dengan istilahزكاة روا تب المو ظفين (zakat gaji pegawai) atauزكاة كسب الاعمال والمهن الحرة (zakat pekerja dan profesi swasta).

Menurut istilah Zakat profesi adalah Zakat yang dikeluarkan pada tiap pekerjaan atau keahlian propesional  ketentuan, baik yang dilakukan sendiri maupun bersama orang/lembaga lain, yang mendatangkan penghasilan (Money) yang memenuhi Nishab (batas minimal).

________________
📄📄📄📄📄📄📄📄📄📄📄📄📄
Terkait zakat profesi, memang terdapat perbedaan pendapat.

Menurut ulama' kholaf dari kalangan madzhab 4, tidak wajib zakat profesi.

Begitupula pendapat ulama' mutaakhirin:
syaikh Wahbah al-Zuhaily ( dari madzhab Syafi’i ) profesi tidak wajib zakat karena tidak ada nash.

✍Sedangkan menurut sebagian ulma' mutaakhirin hukum nya wajib zakat.

Seperti imam Qordlowi ( dari madzhab Hanafi ) profesi wajib zakat karena harta kekayaan wajib dizakati.

📰✍Para peserta Muktamar Internasional pertama tentang Zakat di Kuwait, 29 Rajab 1404 H/30 April 1984 M, sepakat tentang wajibnya Zakat Profesi bila telah mencapai nisab meskipun mereka berbeda pendapat dalam cara mengeluarkannya.

🔴Menurut Majelis Tarjih  Muhammadiyah zakat profesi adalah wajib.

Nott:
🔴Bagi pendapat yang mewajibkan, zakat profesi dikategorikan sebagai al-mal al-mustafad yang mana bila telah memenuhi ketentuan satu nishab dan satu haul wajib dikeluarkan. Dasar yang digunakan oleh pendapat ini adalah pendapat sebagian shahabat seperti Ibnu Abas, Ibnu Mas'ud, dan tabi'in seperti Al Zuhry, Hasan Basri dan Makhul.





🔵PERTIMBANGAN ULAMA' MUTAAKHIRIIN (yang menghukumi wajib.

1.  zakat profesi hukumnya wajib berdasarkan  keumuman ayat 267 surat al Baqarah.

2.  zakat profesi memiliki kemiripan dengan zakat pertanian dari aspek waktu penerimaan gaji dan dengan naqdain (emas dan perak) dari aspek harta yang diterima.

3.  Nishab zakat pertanian adalah 5 wasaq yaitu setara dengan 652, 8 kg beras atau senilai Rp 3.265.000 (dengan standar harga beras Rp.5000/kg).

4. Nishab naqdain adalah 20 dinar setara dengan 85 gr atau senilai Rp 17.000.000 (dengan standar harga emas Rp 200.000/gr)

5.  Untuk menentukan  nishob dan miqdar zakat profesi ditetapkan berdasarkan qiyas. f. terdapat pilihan qiyas di antara 3 (tiga) jenis qiyas, yaitu: qiyas íllah, qiyas dilalah dan qiyas syabah.

6.  Qiyas íllah tidak dapat diterapkan karena íllah zakat  profesi tidak dinyatakan dengan nash.

7. Memilih qiyas dilalah relatif lebih mudah dipahami dibanding dengan qiyas syabah tetapi qiyas syabah pun diakui sebagai rujukan dalam istinbath di kalangan ulama ada yang menggunakan qiyas sabah..

Landasan berdasarkan Al-Qur’an

(Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan allah) sebagian dari hasil usahamu).
“Dan pada harta-harta mereka, ada hak untuk orang miskin yang meminta, dan orang miskin yang tidak mendapat bagian.”

Landasan berdasarkan Atsar

✍Para Shabat mengeluarkan Zakat untuk Maal Mustafad (Harta Perolehan). Zakat Al-Mal Al-Mustafad  adalah harta yang diperoleh seorang Muslim melalui salah satu cara kepemilikan yang di syariatkan seperti : Waris, Hibah, Upah Pekerjaan dsb.

📃📃📃📃📃📃📃📃📃📃📃📃📃📃📃📃
👉IJTIHAD ULAMA' MUTA,KHIRIN TERKAIT ZAKAT PROFESI:

ijtihad yang dilakukan Syaikh Muhammad al-Ghazali bahwa orang yang bekerja dengan penghasilan yang melebihi petani wajib mengeluarkan zakat penghasilannya. Ini berarti, zakatnya gaji diqiyaskan dengan zakatnya pertanian.

“Sesungguhnya orang yang pemasukkannya tidak kurang dari petani yang diwajibkan zakat, maka ia wajib mengeluarkan zakat. Karenanya, dokter, pengacara, insinyur, pengrajin, para pekerja professional, karyawan, dan sejenisnya, wajib zakat atas mereka. Dan zakatnya harus dikeluarkan dari pendapatan mereka yang besar”.
Sumber:
(Muhammad al-Ghazali, al-Islam wa Audla’una al-Iqtishadiyyah, )

👉Pandangan ini setidaknya didasari atas dua alasan.

✍Pertama adalah keumumam firman Allah swt:

“Hai orang-orang yang beriman nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik” (Q.S. Al-Baqarah [2]: 267)

✍Kedua, secara rasional, Islam telah mewajibkan zakat atas petani. Jika petani saja yang penghasilannya lebih rendah dari mereka diwajibkan zakat, apalagi mereka yang penghasilannya lebih tinggi dari petani.

✍Sedangkan Dr. Yusuf al-Qardlawi sampai pada kesimpulan bahwa gaji atau pendapatan yang diterima dari setiap pekerjaan atau keahlian profesional tertentu yang halal wajib dizakati. Hal ini disamakan dengan zakat al-mal al-mustafad (harta yang diperoleh seorang muslim melalui satu jenis proses kepemilikan yang baru dan halal).

“Zakat diambil dari gaji atau sejenisnya. Sedang cantolan fiqhnya yang sahih terhadap penghasilan ini adalah mal mustafad (harta perolehan)”

🌼Sumber:
(Yusuf al-Qaradlawi, Fiqh az-Zakat, Bairut-Mu`assah ar-Risalah, cet ke-3, 1393 H/1983 M, juz, 1, h. 490)

✍Sedangkan mengenai nishab gaji adalah sama dengan nishabnya uang. Demikian ini karena banyak orang yang memperoleh gaji dan pendapatan dalam bentuk uang, karenanya yang paling baik adalah menentapkan nishab gaji berdasarkan nishab uang yang setara dengan nilai 85 gram emas.

🌺Dan zakat tersebut diambil dari gaji atau pendapat bersih. Dalam soal zakat gaji tidak disyaratkan adanya haul, tetapi zakatnya harus ditunaikan ketika gaji itu diterima sebesar 2,5 %.

“Yang paling utama dari semua itu adalah bahwa nishab uang merupakan yang mu’tabar (yang dijadikan patokan) dalam konteks ini (nishab gaji atau pendapatan). Dan kami telah menentukan nilainya setara dengan nilai 85 gram emas…..Dan ketika kami telah memilih pendapat (yang mewajibkan) zakar gaji, upah dan sejenisnya, maka pendapat yang kami kuatkan adalah bahwa zakatnya tidak diambil kecuali dari pendapatan bersih…. Maka pendapat yang saya pilih bahwa harta perolehan seperti gaji pegawai, gaji karyawan, insyinyur, dokter, pengacara dan yang lainnya yang mengerjakan profesi tertentu dan juga seperti pendapatan yang diperoleh modal yang investasikan di luar sektor perdangan seperti kendaraan, kapal laut, kapal terbang, percetakan, perhotelan, tempat hiburan dan yang lain, itu tidak disyaratkan bagi kewajiabn zakatnya adanya haul, tetapi zakat dikeluarkan ketika ia menerimanya (gaji)”
🏵Sumber:
(Yusuf al-Qaradlawi, Fiqh az-Zakat, Bairut-Mu’assah ar-Risalah, cet ke-3, 1393 H/1983 M, juz, 1, h. 513, 517, 505)

👉Kenyataan yang ada para pemerintah dan perusahaan mengatur gaji pegawainya beradasarkan ukuran tahun, meskipun dibayarkan perbulan karena kebutuhan pegawai yang mendesak. Berdasarkan hal itu zakat penghasilan bersih seorang pegawai dan golongan profesi dapat diambil dalam setahun penuh, jika pendapatan bersih mencapai satu nishab.

🌺Dari penjelasan di atas setidak dapat ditarik gambaran sebagai berikut.

Jika pendapatan bersih seorang pekerja selama setahun seperti dokter atau karyawan sebuah perusahaan atau pegawai pemerintahan mencapai nishab yang telah ditentukan maka ia wajib mengeluarkan zakatnya.

Sedang zakatnya dikeluarkan ketika menerima pendapatan tersebut. Contohnya jika seseorang selama setahun memperoleh pendapatan bersih sekitar 48 juta, dengan asumsi ia menerima pendapatan bersih setiap bulan 4 juta.

Maka ia harus mengeluarkan zakat setiap bulannya 2,5 % dari 4 juta tersebut, yaitu sebesar 100 ribu. Jadi selama setahun ia mengeluarkan zakat sebesar 1,2 juta.

👉Selanjutnya mengenai zakat gaji tersebut bisa langsung diberikan kepada golongan yang berhak menerima zakat sebagaimana firman Allah swt:

“Sesungguhnya zakat-zakat itu hanyalah bagi orang-orang fakir, orang-orang miskin, amil-amil zakat, para muallaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekan) budak, orang-orang yang berutang, untuk jalan Allah dan orang-orang yang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana” (Q.S. At-Taubah [9]: 60

🌸🌸🌸🌸🌸🌸🌸🌸🌸🌸🌸🌸🌸🌸🌸🌸

✅CARA MENGELUARKAN ZAKAT PROFESI:

Jika kita mengikuti pendapat ulama yang mewajibkan zakat penghasilan, lalu bagaimana cara mengeluarkannya? Dikeluarkan penghasilan kotor  (bruto) atau penghasilan bersih (neto)? Ada tiga wacana tentang bruto atau neto seperti berikut ini.

🔴Dalam buku Fiqh Zakat karya DR Yusuf Qaradlawi. bab zakat profesi dan penghasilan,  dijelaskan tentang cara mengeluarkan zakat penghasilan. Kalau kita klasifikasi ada tiga wacana:

1. Pengeluaran bruto, yaitu mengeluarkan zakat penghasilan kotor. Artinya, zakat penghasilan yang mencapai nisab 85 gr emas dalam jumlah setahun, dikeluarkan 2,5 % langsung ketika menerima sebelum dikurangi apapun.

Jadi kalau dapat gaji atau honor dan penghasilan lainnya dalam sebulan mencapai 2 juta rupiah x 12 bulan = 24 juta, berarti dikeluarkan langsung 2,5 dari 2 juta tiap bulan = 50 ribu atau dibayar di akhir tahun = 600 ribu.

Hal ini juga berdasarkan pendapat Az-Zuhri dan ‘Auza’i, beliau menjelaskan: “Bila seorang memperoleh penghasilan dan ingin membelanjakannya sebelum bulan wajib zakat datang, maka hendaknya ia segera mengeluarkan zakat itu terlebih dahulu dari membelanjakannya” (Ibnu Abi Syaibah, Al-mushannif, 4/30).

Dan juga menqiyaskan dengan  beberapa harta zakat yang langsung dikeluarkan tanpa dikurangi apapun, seperti zakat ternak, emas perak, ma’dzan dan rikaz.

______________
2. Dipotong oprasional kerja, yaitu setelah menerima penghasilan gaji atau honor yang mencapai nisab, maka dipotong dahulu dengan biaya oprasional kerja. Contohnya, seorang yang mendapat gaji 2 juta  rupiah sebulan, dikurangi biaya transport dan konsumsi harian di tempat kerja sebanyak 500 ribu, sisanya 1.500.000. maka zakatnya dikeluarkan 2,5 dari 1.500.000= 37.500,-

Hal ini dianalogikan dengan zakat hasil bumi dan kurma serta sejenisnya. Bahwa biaya dikeluarkan lebih dahulu baru zakat dikeluarkan dari sisanya. Itu adalah pendapat Imam Atho’ dan lain-lain.

Dari zakat hasil bumi ada perbedaan prosentase zakat antara yang diairi dengan hujan yaitu 10%  dan melalui irigasi 5%.

____________________
3. Pengeluaran neto atau zakat bersih, yaitu mengeluarkan zakat dari harta yang masih mencapai nisab setelah dikurangi untuk kebutuhan pokok sehari-hari, baik pangan, papan, hutang dan kebutuhan pokok lainnya untuk keperluan dirinya, keluarga dan yang menjadi tanggungannya.

Jika penghasilan setelah dikurangi kebutuhan pokok masih mencapai nisab, maka wajib zakat, akan tetapi kalau tidak mencapai nisab tidak wajib zakat, karena dia bukan termasuk muzakki (orang yang wajib zakat) bahkan menjadi mustahiq (orang yang berhak menerima zakat) karena sudah menjadi miskin dengan tidak cukupnya penghasilan terhadap kebutuhan pokok sehari-hari.

Hal ini berdasarkan hadits riwayat imam Al-Bukhari dari Hakim bin Hizam bahwa Rasulullah SAW bersabda: “…. dan paling baiknya zakat itu dikeluarkan dari kelebihan kebutuhan…”.

Kesimpulan, seorang yang mendapatkan penghasilan halal dan mencapai nishab (85 gr emas) wajib mengeluarkan zakat 2,5 %, boleh dikeluarkan setiap bulan atau di akhir tahun. Sebaiknya zakat dikeluarkan dari penghasilan kotor sebelum dikurangi kebutuhan yang lain.

Ini lebih afdlal (utama) karena khawatir ada harta yang wajib zakat tapi tidak dizakati, tentu akan mendapatkan adzab Allah baik di dunia dan di akhirat. Juga penjelasan Ibnu Rusd bahwa zakat itu ta’bbudi (pengabdian kepada Allah SWT) bukan hanya sekedar hak mustahiq.

🔴Tapi ada juga sebagian pendapat ulama membolehkan sebelum dikeluarkan zakat dikurangi dahulu biaya oprasional kerja atau kebutuhan pokok sehari-hari.

______________________________
📚REFERENSI:

👉Q.S. Adt-Dzariyat (51) : 19
📔وَفِي أَمْوَالِهِمْ حَقٌّ لِلسَّائِلِ وَالْمَحْرُوم

👉Q.S. Al-Baqarah (2) : 267
📔يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَنْفِقُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا كَسَبْتُمْ

📔محمد الغزالي، الإسلام وأوضاعنا الإقتصادية، مصر-دار النهضة، الطبعة الأولى، ج، 1، ص. 118
إن مَنْ دَخْلُهُ لَا يَقِلُّ عَنْ دَخْلِ الْفَلَّاحِ الَّذِي تَجِبُ عَلَيْهِ الزَّكَاةُ يَجِبُ أَنْ يُخْرِجَ زَكَاةً؛ فَالطَّبِيْبُ، وَالْمَحَامِي، وَالْمُهَنْدِسُ، وَالصَّانِعُ، وَطَوَائِفُ الْمُحْتَرِفِيْنَ وَالْمُوَظَّفِيْنَ وَأَشْبَاهُهُمْ تَجِبُ عَلَيْهِمُ الزَّكَاةُ، وَلَابُدَّ أَنْ تُخْرَجَ مِنْ دَخْلِهِمْ الكَبِيْرِ --

📔  يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ أَنفِقُواْ مِن طَيِّبَاتِ مَا كَسَبْتُمْ -- البقرة:267

📔إِنَّمَا الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِينِ وَالْعَامِلِينَ عَلَيْهَا وَالْمُؤَلَّفَةِ قُلُوبُهُمْ وَفِي الرِّقَابِ وَالْغَارِمِينَ وَفِي سَبِيلِ اللَّهِ وَابْنِ السَّبِيلِ فَرِيضَةً مِنَ اللَّهِ وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ--التوبة: 60

📔يوسف القرضاوي، فقه الزكاة، بيروت-مؤسسة الرسالة، ط، 3، 1393هـ/1983 م، ج، 1، ص. 490
فَالتَّكْيِيْفُ الفِقْهِيُّ الصَّحِيْحُ لِهَذَا الْكَسْبِ أَنَّهُ مَالٌ مُسْتَفَادٌ --

📔((يوسف القرضاوي، فقه الزكاة، بيروت-مؤسسة الرسالة، ط، 3، 1393هـ/1983 م، ج، 1، ص. 513، 517، 505)
وَأَوْلَى مِنْ ذَلِكَ أَنْ يَكُونَ نِصَابُ النُّقُودِ هُوَ الْمُعْتَبَرُ هُنَا, وَقَدْ حَدَّدْنَاهُ بِمَا قِيْمَتُهُ 85 جِرَامًا مِنَ الذَّهَبِ...وَإِذَا كُنَّا قَدِ اخْتَرْنَا القَوْلَ بِزَكَاةِ الرَّوَاتِبِ وَالأُجُورِ وَنَحْوِهَا فَالَّذِي نُرَجِّحُهُ أَلَّا تُأْخَذَ الزَّكَاةُ إِلَّا مِنَ "الصَّافِي" ... فَالَّذِي إِخْتَارَهُ أَنَّ الْمَالَ الْمُسْتَفَادَ كَرَاتِبِ الْمُوَظَّفَ وَأَجْرِ الْعَامِلِ وَالْمُهَنْدِسِ وَدَخْلِ الطَّبِيبِ وَالْمَحَامِي وَغَيْرِهِمْ مِنْ ذَوِي الْمِهَنِ الْحُرَّةِ وَكَإِيرَادِ رَأْسِ الْمَالِ الْمُسْتَغَلِ فِى غَيْرِ التِّجَارَةِ كَالسَّيَّارَاتِ وَالسُّفُنِ وَالطَّائِرَاتِ وَالْمَطَابِعِ وَالْفَنَادِقِ وَدُوَرِ الْلَهْوِ وَنَحْوِهَا لَا يُشْتَرَطُ لِوُجُوبِ الزَّكَاةِ فِيْهِ مُرُورُ حَوْلٍ بَلْ يُزَكِّيهِ حِيْنَ يَقْبِضُهُ

📚الفقه الإسلامي وأدلته - (ج 3 / ص 294 (مكتبة الشاملة
📔المطلب الثاني ـ زكاة كسب العمل والمهن الحرة :العمل: إما حر غير مرتبط بالدولة كعمل الطبيب والمهندس والمحامي والخياط والنجار وغيرهم من أصحاب المهن الحرة. وإما مقيد مرتبط بوظيفة تابعة للدولة أو نحوها من المؤسسات والشركات العامة أو الخاصة، فيعطى الموظف راتباً شهرياً كما هو معروف. والدخل الذي يكسبه كل من صاحب العمل الحر أو الموظف ينطبق عليه فقهاً وصف «المال المستفاد» (3(  والمقرر في المذاهب الأربعة أنه لا زكاة في المال المستفاد حتى يبلغ نصاباً ويتم حولاً، ويزكى في رأي غير الشافعية المال المدخر كله ولو من آخر لحظة قبل انتهاء الحول بعد توفر أصل النصاب. ويمكن القول بوجوب الزكاة في المال المستفاد بمجرد قبضه، ولو لم يمض عليه حول، أخذاً برأي بعض الصحابة (ابن عباس وابن مسعود ومعاوية) وبعض التابعين (الزهري والحسن البصري ومكحول) ورأي عمر بن عبد العزيز، والباقر والصادق والناصر، وداود الظاهري. ومقدار الواجب: هو ربع العشر، عملاً بعموم النصوص التي أوجبت الزكاة في النقود وهي ربع العشر، سواء حال عليها الحول، أم كانت مستفادة. وإذا زكى المسلم كسب العمل أو المهنة عند استفادته أو قبضه لايزكيه مرة أخرى عند انتهاء الحول. وبذلك يتساوى أصحاب الدخل المتعاقب مع الفلاح الذي تجب عليه زكاة الزروع والثمار بمجرد الحصاد والدياس.

فقه الزكاة - يوسف القرضاوي - (ج 1 / ص 423) مكتبة الشاملة
📔الرَّوَاتِبُ وَالأُجُوْرُ مَالٌ مُسْتَفَادٌ وَالنَّتِيْجَةُ مِنْ هَذَا التَّخْرِيْجِ - عَلَى مَا فِيْهِ (أقْرَبُ اعْتِرَاضٍ عَلَيْهِ مَا يَقُوْلُهُ كَثِيْرٌ مِنَ الْمُوَظِّفِيْنَ مِنْ إنْفَاقِ رَوَاتِبِهِمْ بَعْدَ أيَّامٍ مِنْ قَبْضِهَا إلىَ حَدِّ الاِقْتِرَاضِ وَهَذَا يَقْطَعُ الْحَوْلَ بِالإجْمَاعِ) - أنْ تُؤْخَذَ الزَّكَاةُ مِنَ الرواتِبِ وَنَحْوِهَا عَنْ شَهْرٍ وَاحِدٍ مِنِ اثْنَىْ عَشَرَ شَهْرًا ؛ لأنَّ الَّذِي يُخْضَعُ لِلزَّكاةِ هُوَ النِّصَابُ الثَّابِتُ فيِ أَوَّلِ الْحَوْلِ وَأَخِرِهِ. وَالْعُجْبُ أنْ يقولَ الأَسَاتِذَةُ عَنْ كَسْبِ الْعَمَلِ وَالْمِهَنِ وَمَا يَجْلِبُهُ مِنْ رَواتِبٍ وَإيْرَادٍ : إنَّهُمْ لاَ يَعْرِفُونَ لَهُ نَظِيرًا فيِ الْفِقْهِ إلاَّ فِيْمَا رُوِىَ عَنْ أحْمَدَ فيِ أُجْرَةِ الدَّارِ ؛ هَذاَ مَعَ أنَّ أقْرَبَ شَيْءٍ يُذْكَرُ هُنَا هُوَ "الْمَالُ الْمُسْتَفَادُ" وَهُوَ مَا يَسْتَفِيْدُهُ الْمُسْلِمُ وَيَمْلِكُهُ مِلْكًا جَدِيدًا بِأَيِّ وَسِيْلَةٍ مِنْ وَسَائِلِ التَّمَلُّكِ الْمَشْرُوعِ ؛ فَالتَّكْيِيْفُ الْفِقْهِي الصَّحِيْحُ لِهَذَا الْكَسْبِ: أنَّهُ مَالُ مُسْتَفادٌ. وَقَدْ ذَهَبَ إلىَ وُجُوْبِ تَزْكِيَتِهِ فيِ الْحَالِ جَمَاعَةٌ مِنَ الصَّحَابَةِ وَمَنْ بَعْدَهُمْ دُوْنَ اشْتِرَاطِ حَوْلٍ ؛ وَإلىَ ذَلِكَ ذََهَبَ ابن عباس وابن مسعود وَمُعَاوِيَة واَلصَّادِقُ وَالْبَاقِرُ والناصِرُ ودَاوُدُ، وَرُوِىَ عَنْ عُمَرَ بْنِ عَبْدِ العزيز وَالْحَسَنِ وَالزُّهْرِي والأَوْزَاعِي.

المحلى - (ج 6 / ص 84) مكتبة الشاملة
📔وقال أبو حنيفة: لاَ يُزَكَّى الْمَالُ الْمُسْتَفَادُ إلاَّ حَتَّى يُتِمَّ حَوْلاً إلاَّ إنْ كَانَ عِنْدَهُ مَالٌ يَجِبُ فِي عَدَدِ مَا عِنْدَهُ مِنْهُ الزَّكَاةُ فِي أَوَّلِ الْحَوْلِ: فَإِنَّهُ إنْ اكْتَسَبَ بَعْدَ ذَلِكَ لَوْ قَبْلَ تَمَامِ الْحَوْلِ بِسَاعَةٍ شَيْئًا قَلَّ أَوْ كَثُرَ مِنْ جِنْسِ مَا عِنْدَهُ: فَإِنَّهُ يُزَكِّي الْمُكْتَسَبَ مَعَ الأَصْلِ, سَوَاءٌ عِنْدَهُ الذَّهَبُ, وَالْفِضَّةُ, وَالْمَاشِيَةُ, وَالأَوْلاَدُ, وَغَيْرُهَا.وقال مالك: لاَ يُزَكَّى الْمَالُ الْمُسْتَفَادُ إلاَّ حَتَّى يُتِمَّ حَوْلاً, وَسَوَاءٌ كَانَ عِنْدَهُ مَا فِيهِ الزَّكَاةُ مِنْ جِنْسِهِ أَوْ لَمْ يَكُنْ, إلاَّ الْمَاشِيَةَ; فَإِنَّ مَنْ اسْتَفَادَ مِنْهَا شَيْئًا بِغَيْرِ وِلاَدَةٍ مِنْهَا, فَإِنْ كَانَ الَّذِي عِنْدَهُ مِنْهَا نِصَابًا: زَكَّى الْجَمِيعَ عِنْدَ تَمَامِ الْحَوْلِ, وَإِلاَّ فَلاَ, وَإِنْ كَانَتْ مِنْ وِلاَدَةٍ زَكَّى الْجَمِيعَ بِحَوْلِ الآُمَّهَاتِ1 سَوَاءٌ كَانَتْ الآُمَّهَاتُ نِصَابًا أَوْ لَمْ تَكُنْ. وقال الشافعي: لاَ يُزَكَّى مَالٌ مُسْتَفَادٌ مَعَ نِصَابٍ كَانَ عِنْدَ الَّذِي اسْتَفَادَهُ مِنْ جِنْسِهِ أَلْبَتَّةَ, إلاَّ أَوْلاَدَ الْمَاشِيَةِ مَعَ أُمَّهَاتِهَا فَقَطْ إذَا كَانَتْ الآُمَّهَاتُ نِصَابًا وَإِلاَّ فَلاَ.

________________________

🔴Catatan kaki:
Sumber rujukan
(1)Ibn Rusyd. Bidâyat al-Mujtaahid, jilid 1 (t.t. Mustafa babi halabi, 1379 H- 1960 M ), 252-253.

[2] Yusuf Al-Qaradhawi, Fiqh az-Zakah, I/497; Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, II/865; Ali as-Salus, Mausu’ah al-Qadhaya al-Fiqhiyah al-Mu’ashirah, hal. 522; Al-Yazid Ar-Radhi, Zakah Rawatib Al-Muwazhaffin, hal. 17.

[3] Didin Hafidhuddin, Panduan Praktis Tentang Zakat, Infaq, Sedekah, hal. 103; Zakat dalam Perekonomian Modern, hal. 95.

[4] Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, II/865,

[5]  Wahbah az-Zuhaili,  Al-fiqh Al-Islami wa ‘Adillatuh, 2/866.

[6] Ibid.

[7] Yusuf Al-Qaradhawi, ibid., I/491-502; Wahbah az-Zuhaili, ibid., II/866.

[8]  Yusuf Al-Qaradlawi. Fiqh Zakat, 486, Didin Hafidhuddin, Panduan Praktis Tentang Zakat, Infaq, Sedekah, 104

[9] Ibn Rusyd. Bidâyat al-Mujtaahid, jilid 1 (t.t. Mustafa babi halabi, 1379 H- 1960 M ), 252-253.

[ والله اعلم بالصواب ]

Diskusihukumfiqh212.blogspot.com

HUKUM MUSHOLLA DI RUBAH JADI MESJID

KESIMPULAN TEAM MUSYAWWIRIN DHF
HUKUM MUSHOLLA DI RUBAH JADI MESJID
===================
PERTANYAAN:

السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ

izin bertanya
Ada orang mewakofkan tanahx agar di buat mossolla berapa tahun kemudian yg mewakofkan tanah meninggal setelah orang yg berwakof meninggal oleh masa rakat mossolla tersebut di bongkar di jadikan masjid pertanyaan saya bolehkah tanah wakof yg seharusx di buat mossolla lalu di buat masjid klo boleh kita harus minta izin pada siapa merubah setatus tanah wakof tersebut sedangkan yg mewakofkan meninggal

JAWAB:

وعليكم السلام ورحمة الله وبركاته

👉“Wakaf itu tidak sah kecuali disertai ucapan (dari yang mewakafkan) yang memberikan pengertian pewakafan yang dimaksud...
Dikecualikan dari syarat pengucapan bila seorang membangun masjid dilahan bebas, dan ia berniat menjadikannya masjid maka bangunan tersebut menjadi masjid dan tidak memerlukan ucapan pewakafan, hal ini sebagaimana ungkapan Ibn Rif’ah dalam kitab al-Kifaayah dengan mengikuti al-Mawardi “sebab aktifitas membangun disertai niat menjadikannya masjid sudah mencukupi pewakafan dari pebgucapan wakaf, as-Subky memperkuatnya bahwa lahan bebas tersebut tidak menjadi milik seseorang yang membukanya sebagai masjid.
Diperlukannya pengucapan pewakafan tersebut untuk mengecualikan lahan dari kepemilikan seseorang dan untuk bangunannya diperlakukan hukum masjid karena mengikuti lahannya”.
Al-Asnawy berpendapat “Dan hukum qiyas kasus tersebut adalah pemberlakuannya pada selain masjid yaitu sekolah-sekolah, pesantren-pesantren dan selainnya”.
Pendapat ar-Rafi’i dalam bab Ihyaa’ al-Mawaat juga menunjukkan demikian.

(Ungkapan Syekh zainuddin al-Malibari “Saya mewakafkannya untuk shalat”) yakni si pewakaf berkata “saya mewakafkan tempat ini untuk shalat” maka ucapan tersebut termasuk sharih (jelas) dalam kemutlakan wakaf.
(Ungkapan beliau “Dan kinayah dalam kekhususannya sebagai masjid, maka harus ada niat untuk menjadikannya masjid”) Jika ia berniat menjadikannya masjid maka tempat tersebut menjadi masjid, jika tidak maka hanya menjadi wakaf untuk shalat saja dan tidak menjadi masjid seperti sekolahan.
I’aanah at-Thoolibiin III/160

Permasalahan mengubah bentuk dan fungsi barang waqaf dalam mazhab syafi'i sangatlah ketat, dalam arti mazhab syafi'i sangat hati-hati dalam memberikan keabsahan perubahan bentuk dan fungsi barang wakaf.

Beberapa pendapat di antaranya Imam al-Nawawi dalam kitab raudlah Kitab al-waqf bab al-tsani fasal masail mantsurah:

Tidak boleh mengubah fungsi (barang) waqaf. Maka tidak diperbolehkan (waqaf) rumah menjadi (waqaf) kebun ataupun tempat pemandian, dan sebaliknya. Kecuali jika orang yang waqaf memasrahkan apa yang dipandang maslahah bagi kepentingan wakaf. Dalam fatwa imam al-Qaffal menyatakan: boleh menjadikan (waqaf) tempat cukur (salon rambut) sebagai toko roti. Barangkali pengertiannya adalah merubah bentuk bukan fungsi.

Imam Muhammad bin Syihabuddin al-Ramly dalam Nihayatul muhtaj Kitab al-waqf fasal fi ahkam al-waqf al-ma'nawiyyah mengatakan:

Pengelola waqaf boleh merubah (menyelaraskan) bentuk, tetapi tidak boleh membagi-bagi meskipun sekat-sekat, dan tidak boleh merubah fungsi seperti menjadikan kebun sebagai rumah atau sebaliknya selama waqif tidak mensyaratkan satu tindakan untuk kemaslahatan, (jika waqif mensyaratkan satu tindakan tertentu) maka boleh merubah fungsi dengan mempertimbangkan maslahah. Imam al-subky berkata: permasalahan yang saya lihat adalah mengubah benda waqaf menjadi yang lain, tetapi dengan tiga syarat : perubahan itu sedikit yang tidak merubah musamma (esensi dari nama suatu benda), dan tidak menghilangkan sekecil apapun dari bendanya, bahkan boleh memindahkan ke arah yang lain, dan (syaratnya) itu kemaslahatan wakaf.

Dari dua redaksi di atas (raudlah dan nihayah) tampak bahwa diawali dengan tidak bolehnya merubah (fungsi) benda wakaf, melainkan dengan syarat kemaslahatan yang diberikan waqif. Hanya saja, kemudian diikuti dengan pendapat bahwa yang dimaksudkan itu bukan fungsinya melainkan bentuknya.

Dititik ini, kesimpulannya mengubah fungsi itu tidak boleh seperti mengubah rumah (fungsi tempat tinggal) menjadi kebun (fungsi tempat bercocok-tanam), akan tetapi jika merubah bentuk tanpa merubah fungsi itu boleh dengan adanya persyaratan dari waqif, seperti merubah bentuk tempat potong rambut menjadi toko roti dimana fungsinya sama-sama sebagai tempat usaha.

Selanjutnya, apakah mushalla dan masjid itu satu fungsi dan satu makna yang sama ?

Definisi mushalla (musala) dalam bahasa Indonesia adalah : tempat salat; langgar; surau; (2) tikar salat; sajadah. Silahkan rujuk KBBI.
Definisi musala sebagai langgar atau surau adalah definisi yang sesuai dengan urf (kebiasaan) masyarakat indonesia, dimana arti langgar (silahkan rujuk KBBI) adalah : masjid kecil tempat mengaji atau bersalat, tetapi tidak digunakan untuk salat Jumat; surau; musala.

Demikian arti musala yang bisa digunakan untuk merujuk sebagai masjid yang bukan jami', surau, ruang khusus tempat shalat di suatu gedung , kantor atau bahkan pasar (mal) ataupun tempat shalat di rumah.

Kata mushalla salah satunya terdapat dalam

Yang perlu dicermati dalam ayat ini adalah kata 'maqam' dan 'mushalla'. Banyak tafsiran mengenai kata ini dalam ayat tersebut, ada yang mengartikan batu, dan ada yang mengartikan al-haram secara keseluruhan. Sedangkan mushalla ada yang mengartikan sebagai tempat yang secara khusus diperuntukkan untuk shalat.

Sedangkan arti dari masjid sebagaimana dikatakan oleh al-zujaj yang dinukil dalam kamus lisan al-arab (lihat entry kata sa-ja-da) : setiap tempat yang dipergunakan untuk ibadah adalah masjid, bukankan Rasul bersabda , "telah dijadikan bagiku bumi sebagai masjid yang suci".
.
👉Kesimpulanya

musholla tidak diperbolehkan d rubah menjadi masjid karena status waqaf harus sesuai keinginan pihak yang mewaqafkan dan tidak boleh dirubah.
Apa lagi yang mewaqaf kn sudah mninggal...

📚REFERENSI:

👉Mughni al-Muhtaaj II/382

📔( قوله ووقفته للصلاة الخ ) أي وإذا قال الواقف وقفت هذا المكان للصلاة فهو صريح في مطلق الوقفية ( قوله وكناية في خصوص المسجدية فلا بد من نيتها ) فإن نوى المسجدية صار مسجدا وإلا صار وقفا على الصلاة فقط وإن لم يكن مسجدا كالمدرسة

 حاشيتا قليوبي وعميرة الجزء 3 صحـ : 110 مكتبة دار إحياء الكتب العربية

📔( تَنْبِيهٌ ) لاَ يَجُوزُ تَغْيِيرُ شَيْءٍ مِنْ عَيْنِ الْوَقْفِ وَلَوْ ِلأَرْفَعَ مِنْهَا فَإِنْ شَرَطَ الْوَاقِفُ الْعَمَلَ بِالْمَصْلَحَةِ اتُّبِعَ شَرْطُهُ وَقَالَ السُّبْكِيُّ يَجُوزُ تَغْيِيرُ الْوَقْفِ بِشُرُوطٍ ثَلاَثَةٍ أَنْ لاَ يُغَيَّرَ مُسَمَّاهُ وَأَنْ يَكُونَ مَصْلَحَةً لَهُ كَزِيَادَةِ رَيْعِهِ وَأَنْ لاَ تُزَالَ عَيْنُهُ فَلاَ يَضُرُّ نَقْلُهَا مِنْ جَانِبٍ إلَى آخَرَ نَعَمْ يَجُوزُ فِيْ وَقْفِ قَرْيَةٍ عَلَى قَوْمٍ إِحْدَاثُ مَسْجِدٍ وَمَقْبَرَةٍ وَسِقَايَةٍ فِيهَا اهـ

👉al-Baqarah 125:

📔وإذ جعلنا البيت مثابة للناس وأمنا واتخذوا من مقام إبراهيم مصلى

📔( ولا يصح ) الوقف ( إلا بلفظ ) من ناطق يشعر بالمراد..
تنبيه يستثنى من اشتراط اللفظ ما إذا بنى مسجدا في موات ونوى جعله مسجدا فإنه يصير مسجدا ولم يحتج إلى لفظ كما قاله في الكفاية تبعا للماوردي لأن الفعل مع النية مغنيان هنا عن القول ووجهه السبكي بأن الموات لم يدخل في ملك من أحياه مسجدا وإنما احتيج للفظ لإخراج ما كان ملكه عنه وصار للبناء حكم المسجد تبعا
قال الإسنوي وقياس ذلك إجراؤه في غير المسجد أيضا من المدارس والربط وغيرها وكلام الرافعي في إحياء الموات يدل له

📔لا يجوز تغيير الوقف عن هيئته ، فلا تجعل الدار بستانا ، ولا حماما ، ولا بالعكس ، إلا إذا جعل الواقف إلى الناظر ما يرى فيه مصلحة للوقف ، وفي فتاوى القفال : أنه يجوز أن يجعل حانوت القصارين للخبازين ، فكأنه احتمل تغيير النوع دون الجنس

📔ولأهل الوقف المهايأة لا قسمته ولو إفرازا ولا تغييره كجعل البستان دارا وعكسه ما لم يشرط الواقف العمل بالمصلحة فيجوز تغييره بحسبها ، قال السبكي : والذي أراه تغييره في غيره ولكن بثلاثة شروط : أن يكون يسيرا لا يغير مسماه ، وأن لا يزيل شيئا من عينه بل ينقله من جانب إلى آخر ، وأن يكون مصلحة وقف .

📔وقال الزجاج: كل موضع يتعبد فيه فهو مسجَِد، أَلا ترى أَن النبي، صلى الله عليه وسلم، قال: جعلت لي الأَرض مسجداً وطهوراً

📔إعانة الطالبين الجزء الثالث ص : 169 دار الفكر
ثم رأيت فى فتح الجواد ما يؤيده, وعبارته: وتبع شرطه حيث لم يناف الوقف. اهـ والشرط الذى ينافيه: كشرط الخيار لنفسه فى إبقاء وقفه والرجوع فيه متى شاء أو شرط أن يبيعه وأن يزيد فيه أو ينقص من شاء وغير ذلك مبطل للوقف: إذ وضع الوقف على اللزوم.

📔1.إعانة الطالبين الجزء الثالث ص : 179-180 دار الفكر
ولا يباع موقوف وإن خرب فلو انهدم مسجد وتعذرت إعادته: لم يبع, ولا يعود ملكا بحال - لإمكان الصلاة والاعتكاف فى أرضه – أو جف, الشجر الموقوف أو قلعه ريح لم يبطل الوقف, فلا يباع ولا يوهب, بل ينتفع الموقوف عليه – ولو بجعله أبوابا, إن لم يمكنه إجارته خشبا بحاله - فإن تعذر الانتفاع به إلا باستهلاكه: كأن صار لا ينتفع به إلا بالإحراق: انقطع الوقف - أى ويملكه الموقوف عليه حينئذ - على المعتمد. فينتفع بعينه ولا يبيعه (قوله وان خرب) اى الموقوف وخالف فى هذه الإمام أبو حنيفة فأجاز بيع المحل الخراب بشرط ان يكون قد آل الى السقوط ويبدل بمحل آخر أحسن منه وان يكون بعد حكم حاكم يرى صحته .

📔1.الشرقاوى الجزء الثانى ص : 9 الحرمين للطباعة والنشر والتوزيع
( و ) بيع ( الموقوف ) وإن أشرف على الخراب والأضحية والمرهون بعد القبض بلا إذن ( قوله وإن أشرف على الخراب ) أى أو لم ينتفع به أصلا على المعتمد نعم نحو حصر بليت كالقناديل والجذوع الموقوفة ولا نفع فيها يجوز بيعها ليصرف ثمنها فى مصالح الموقوف بخلاف العقارات والكلام فى غير المسجد أما هو فلا يصح بيعه بحال

[ والله اعلم بالصواب ]

Diskusihukumfiqh212.blogspot.com

SEPUTAR DAN PENGERTIAN MASALAH SHAF JAMAAH

KESIMPULAN TEAM MUSYAWWIRIN DHF
SEPUTAR DAN PENGERTIAN MASALAH SHAF JAMAAH
====================
PERTANYAAN:

السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ

Numpang tanya admin..apa betul seperti ini syaf yg rapat itu??
(merapatkan kaki saat berjemaah)
#Saya baru pertama lihat

JAWAB:

وعليكم السلام ورحمة الله وبركاته

👉Pengertian shaf

Apabila seorang makmum datang dan barisan shaf depan masih terdapat tempat kosong, dia sunah menerobos masuk ke dalam barisan shaf. Namun jika shaf depannya rapat, disunahkan menarik seorang jama’ah di depannya untuk membuat barisan shaf baru. Dan bagi jama’ah yang ditarik tersebut sunah ikut mundur.

“Luruskanlah shaf rapatkan antara bahu-bahu, Isilah sela-sela yang kosong dan lenturkanlah dengan tangan-tangan saudara kamu, janganlah kamu meninggalkan tempat kosong untuk syaithan, barang siapa yang menyambung shaf maka Allah akan menyambungnya, dan barang siapa yang memutuskan shaf, maka Allah akan memutuskannya". ( HR Ahmad ).

ﻭَﻣَﺎ ﻣِﻦْ ﺧُﻄْﻮَﺓٍ ﺃَﺣَﺐُّ ﺇِﻟَﻰ ﺍﻟﻠَّﻪِ ﻣِﻦْ ﺧُﻄْﻮَﺓٍ ﻳَﻤْﺸِﻴﻬَﺎ ﻳَﺼِﻞُ ﺑِﻬَﺎ ﺻَﻔًّﺎ

Tidak ada langkah yang dilalui oleh hamba yang lebih disukai Allah melebihi langkah untuk menyambung shaf (barisan). (HR Abu Dawud, ).

Memang betul, merapatkan shof ada fadhilahnya tersendiri, bukankah kalau urusan dunia kita ingin yang sempurna ? kenapa urusan ibadah tidak ? meskipun menurut imam Romli shof tidak teratur tidak mengurangi fadhilah jamaah hanya menghilangkan keutamaan shof saja

Selanjutnya maslah
╔═════ 📜📃 ═════╗
  Menempelkan kaki dengan kaki  
     saat sholat
     
╚═════ 📚📓 ═════╝

📝 • "Apakah menempelkan kaki dengan kaki temannya dilakukan oleh Nabi Muhammad ?"

• "Apakah hal tersebut diperintahkan oleh Nabi Muhammad ?"

• "Apakah hal tersebut dipraktekkan oleh Sahabat Utama ?"

🔅 Maka jawabannya : *TIDAK*

1⃣ *Mari kita fahami bersama hadits lengkapnya terkait permaslshan di atas:*

🔰 ```Riwayat Anas bin Malik```
حَدَّثَنَا عَمْرُو بْنُ خَالِدٍ قَالَ: حَدَّثَنَا زُهَيْرٌ عَنْ حُمَيْدٍ عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: أَقِيمُوا صُفُوفَكُمْ فَإِنِّي أَرَاكُمْ مِنْ وَرَاءِ ظَهْرِي وَكَانَ أَحَدُنَا يُلْزِقُ مَنْكِبَهُ بِمَنْكِبِ صَاحِبِهِ وَقَدَمَهُ بِقَدَمِهِ»
Mengabarkan kepada kami 'Amr bin Kholid berkata, mengabarkan kepada kami  Zuhair dari Humaid dari Anas bin Malik dari Nabi Muhammad shollallohu ‘alaihi wasallam: ” *Tegakkanlah shaf kalian*, karena saya melihat kalian dari belakang pundakku.” ada salah *seorang* diantara kami orang yang menempelkan bahunya dengan bahu temannya dan telapak kaki dengan telapak kakinya. _(HR. Bukhari)_

🔰 ```Riwayat anNu'man bin Basyir```
حَدَّثَنَا وَكِيعٌ, حَدَّثَنَا زَكَرِيَّا, عَنْ أَبِي الْقَاسِمِ الْجَدَلِيِّ, قَالَ أَبِي: وحَدَّثَنَا يَزِيدُ بْنُ هَارُونَ, أَخْبَرَنَا زَكَرِيَّا, عَنْ حُسَيْنِ بْنِ الْحَارِثِ أَبِي الْقَاسِمِ, أَنَّهُ سَمِعَ النُّعْمَانَ بْنَ بَشِيرٍ, قَالَ: أَقْبَلَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِوَجْهِهِ عَلَى النَّاسِ, فَقَالَ: ” أَقِيمُوا صُفُوفَكُمْ, ثَلَاثًا وَاللهِ لَتُقِيمُنَّ صُفُوفَكُمْ أَوْ لَيُخَالِفَنَّ اللهُ بَيْنَ قُلُوبِكُمْ ” قَالَ: ” فَرَأَيْتُ الرَّجُلَ يُلْزِقُ كَعْبَهُ بِكَعْبِ صَاحِبِهِ, وَرُكْبَتَهُ بِرُكْبَتِهِ وَمَنْكِبَهُ بِمَنْكِبِهِ
An-Nu’man bin Basyir berkata : Rasulullah shollallohu ‘alaihi wasallam menghadap kepada manusia, lalu berkata : "Tegakkanlah shaf kalian!", tiga kali. Demi Allah, tegakkanlah shaf kalian, atau Allah akan membuat perselisihan diantara hati kalian. Lalu an-Nu’man bin Basyir berkata: Saya melihat *seorang laki-laki* menempelkan mata kakinya dengan mata kaki temannya, lutut dengan lutut dan bahu dengan bahu. _(HR. Bukhori)_

2⃣ *Bagaimana sih perintah Nabi Muhammad shollallohu ‘alaihi wasallam ketika itu ?*

Beliau bersabda :
أَقِيمُوا صُفُوفَكُمْ
Tegakkanlah shof / barisan kalian
Jadi, beliau *tidak memerintahkan untuk menempelkan kaki*, tapi beliau memerintahkan untuk menegakkan shof dalam artian merapikan, meluruskan, dan merapatkan shof.

🚫 _bukan memerintahkan untuk menempelkan kaki dengan kaki temannya_

3⃣ *Lalu, siapa yang menempelkan kaki ketika itu ? Berapa jumlahnya ?*

Baca lagi hadits diatas
🔰 ```Anas bin Malik``` mengatakan :
[وَكَانَ أَحَدُنَا]
*salah satu diantara kami*

Baca lagi hadits diatas
🔰 ```anNu'man bin Basyir``` mengatakan :
[رَأَيْتُ الرَّجُلَ]
Saya melihat *seorang laki-laki dari kami*

🔖 Jadi, dari sekian banyak sahabat yang ikut sholat berjamaah bersama dengan Nabi shollallohu ‘alaihi wasallam, semua sholatnya *wajar*.
Ada orang yang menempelkan kaki dengan kaki temannya dan jumlahnya hanya *satu orang*.

Sampai sini bisa dipahami ya❓
Bisa In syaa Allah

4⃣ *Perbuatan satu orang sahabat, apalagi tidak ada yang mengenalnya,*_*TIDAK BISA DIJADIKAN HUJJAH*_

🔰 ```Al-Amidi (w. 631 H)``` salah seorang pakar Ushul Fiqih menyebutkan:
ويدل على مذهب الأكثرين أن الظاهر من الصحابي أنه إنما أورد ذلك في معرض الاحتجاج وإنما يكون ذلك حجة إن لو كان ما نقله مستندا إلى فعل الجميع لأن فعل البعض لا يكون حجة على البعض الآخر ولا على غيرهم
Menurut madzhab kebanyakan ulama’, perbuatan sahabat dapat menjadi hujjah jika didasarkan pada perbuatan semua sahabat. Karena perbuatan sebagian tidak menjadi hujjah bagi sebagian yang lain, ataupun bagi orang lain. _(Lihat :Al-Amidi; w. 631 H, Al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam, hal. 2/99)_

💠 Jadi, kalau kita mau _fair_ ingin mengamalkan perbuatan sahabat;
✔ mari kita Taraweh 20 rokaat, karena itu dilakukan oleh ```Sayyidina Umar bin Khottob``` dan disetujui semua sahabat,
✔ begitu juga Adzan Jumat 2x dilakukan dizaman ```Sayyidina Utsman bin Affan```

*Kalau injak2kan kaki ❓*
Hanya satu orang sahabat, dan tidak dikenal siapa dia, serta perbuatannya menyelisihi mayoritas sahabat.

5⃣ *Mana buktinya bahwa sahabat yang lain tidak menempelkan kaki dengan kaki temannya ?*

🔰 Lihat bagaimana kata sang periwayat hadits, yaitu ```Anas bin Malik```:

وَزَادَ مَعْمَرٌ فِي رِوَايَتِهِ وَلَوْ فَعَلْتُ ذَلِكَ بِأَحَدِهِمُ الْيَوْمَ لَنَفَرَ كَأَنَّهُ بغل شموس
Ma’mar menambahkan dalam riwayatnya dari Anas; jika saja hal itu (menempelkan kaki) saya lakukan dengan salah satu dari mereka saat ini, maka mereka akan lari sebagaimana keledai yang lepas. _[Ibnu Hajar, Fathu al-Bari, hal. 2/211]_

*Kenapa bisa begitu ?*
```Ibnu Hajar al-Asqalani (w. 852 H)``` menuliskan:
الْمُرَادُ بِذَلِكَ الْمُبَالَغَةُ فِي تَعْدِيلِ الصَّفِّ وَسَدِّ خَلَلِهِ
(Yang dilakukan sahabat tersebut adalah) berlebih-lebihan dalam meluruskan shaf dan menutup celah. _[Ibnu Hajar, Fathu al-Bari, hal. 2/211]_

6⃣ *Lalu, siapa yang pertama kali mengatakan bahwa menempelkan kaki dengan kaki itu adalah termasuk kesempurnaan sholat bahkan termasuk hal yang wajib ?*

🔰 Ia adalah ```Ustadz Nashiruddin al-Albani.```
وقد أنكر بعض الكاتبين في العصر الحاضر هذا الإلزاق, وزعم أنه هيئة زائدة على الوارد, فيها إيغال في تطبيق السنة! وزعم أن المراد بالإلزاق الحث على سد الخلل لا حقيقة الإلزاق, وهذا تعطيل للأحكام العملية, يشبه تماما تعطيل الصفات الإلهية, بل هذا أسوأ منه
Sebagian penulis zaman ini telah mengingkari adanya _ilzaq (menempelkan mata kaki, lutut, bahu)_, hal ini bisa dikatakan menjauhkan dari menerapkan sunnah. Dia menyangka bahwa yang dimaksud dengan “ilzaq” adalah anjuran untuk merapatkan barisan saja, bukan benar-benar menempel. Hal tersebut merupakan ta’thil _(pengingkaran)_ terhadap hukum-hukum yang bersifat alamiyyah, persis sebagaimana ta’thil _(pengingkaran)_ dalam sifat Ilahiyyah. Bahkan lebih jelek dari itu.
_(Al-Albani : Silsilat al-Ahadits as-Shahihah, hal. 6/77)_

Jadi beliau menganggap bahwa orang yang mengatakan ilzaq adalah anjuran untuk merapatkan shof, bukan menempelkan kaki, adalah pendapat yang salah, karena bagi beliau ilzaq adalah menempelkan kaki, lutut, dan bahu.

7⃣ *Pendapat Ustadz Al-Albani bertentangan dengan pendapat Ulama Salafi _(wahabi, pen)_ yang lain.*

🔰 ```Ustadz Muhammad bin Shalih al-Utsaimin``` berkata:
أن كل واحد منهم يلصق كعبه بكعب جاره لتحقق المحاذاة وتسوية الصف, فهو ليس مقصوداً لذاته لكنه مقصود لغيره كما ذكر بعض أهل العلم, ولهذا إذا تمت الصفوف وقام الناس ينبغي لكل واحد أن يلصق كعبه بكعب صاحبه لتحقق المساواة, وليس معنى ذلك أن يلازم هذا الإلصاق ويبقى ملازماً له في جميع الصلاة.
Setiap masing-masing jamaah hendaknya menempelkan mata kaki dengan jamaah sampingnya, agar shof benar-benar lurus. Tapi menempelkan mata kaki itu bukan tujuan intinya, tapi ada tujuan lain. Maka dari itu, jika telah sempurna shaf dan para jamaah telah berdiri, hendaklah jamaah itu menempelkan mata kaki dengan jamaah lain agar shafnya lurus. "Maksudnya bukan terus menerus menempel sampai selesai shalat." _(Lihat : Muhammad bin Shalih al-Utsaimin; w. 1421 H, Fatawa Arkan al-Iman, hal. 1/ 311)_

🔰 ```Ustadz Abu Bakar Zaid (w. 1429 H / 2007 M,``` adalah salah seorang ulama Saudi yang pernah menjadi Imam Masjid Nabawi, dan menjadi salah satu anggota Haiah Kibar Ulama Saudi) :

وإِلزاق الكتف بالكتف في كل قيام, تكلف ظاهر وإِلزاق الركبة بالركبة مستحيل وإِلزاق الكعب بالكعب فيه من التعذروالتكلف والمعاناة والتحفز والاشتغال به في كل ركعة ما هو بيِّن ظاهر.
Menempelkan bahu dengan bahu di setiap berdiri adalah takalluf (memberat-beratkan) yang nyata. Menempelkan dengkul dengan dengkul adalah sesuatu yang mustahil, menempelkan mata kaki dengan mata kaki adalah hal yang sulit dilakukan. _(La Jadida fi Ahkam as-Shalat hal. 13)_

🔰 ```Abu Bakar Zaid``` melanjutkan:

فهذا فَهْم الصحابي – رضي الله عنه – في التسوية: الاستقامة, وسد الخلل لا الإِلزاق وإِلصاق المناكب والكعاب. فظهر أَن المراد: الحث على سد الخلل واستقامة الصف وتعديله لا حقيقة الإِلزاق والإِلصاق

Inilah yang difahami para shahabat dalam _taswiyah shaf: Istiqamah, menutup sela-sela_ Bukan menempelkan bahu dan mata kaki. Maka dari itu, maksud sebenarnya adalah *anjuran untuk menutup sela-sela, istiqamah dalam shaf, bukan benar-benar menempelkan.*

🔰 Bahkan pendapat Ustadz Al-Albani juga bertentangan dengan pendapat Madzhab Hambali

```Ibnu Rajab al-Hanbali (w. 795 H)``` :

حديث أنس هذا: يدل على أن تسوية الصفوف: محاذاة المناكب والأقدام
Hadits Anas ini menunjukkan bahwa yang dimaksud meluruskan shaf adalah lurusnya bahu dan telapak kaki. _(Lihat: Ibnu Rajab al-Hanbali; w. 795 H, Fathu al-Bari, hal.6/ 282)._

8⃣ *Bagaimana sebenarnya cara merapatkan shof yang sempurna ?*
وتعتبر المسافة في عرض الصفوف بما يهيأ للصلاة وهو ما يسعهم عادة مصطفين من غير إفراط في السعة والضيق اهـ جمل.الكتاب : بغية المسترشدين ص 140
“Disebutkan bahwa ukuran lebar shof ketika hendak sholat yaitu yang umum dilakukan oleh seseorang, dengan tanpa berlebihan dalam lebar dan sempitnya.” _(Bughyatul Mustarsyidin hal 140)_

Umpama-pun mau menempelkan, "tempelkanlah bagian yang terluar dari tubuh kita saat berdiri,"
mana itu ?
Ya kalau berdiri normal, _kalau berdiri normal hlo ya_, *bagian terluar dari tubuh kita yaitu pundak atau bahu kita*
sesuai sabda Nabi Muhammad saw :

أَقِيمُوا الصُّفُوفَ وَحَاذُوا بَيْنَ الْمَنَاكِبِ وَسُدُّوا الْخَلَلَ وَلِينُوا بِأَيْدِي إِخْوَانِكُمْ وَلَا تَذَرُوا فُرُجَاتٍ لِلشَّيْطَانِ
”Luruskan shof, rapatkan pundak, dan tutup celah, serta perlunak pundak kalian untuk saudaranya, dan jangan tinggalkan celah untuk setan.” _(HR. Abu Daud no. 666)_

〽 *“perlunak pundak kalian untuk saudaranya”* _maksutnya adalah hendaknya dia berusaha agar pundaknya tidak mengganggu orang lain._

📚REFERENSI POINT PERTAMA:

📔المنهاج الجزء 2 صحـ : 193 مكتبة دار الفكر

وَسُئِلَ الشِّهَابُ الرَّمْلِيُّ عَمَّا أَفْتَى بِهِ بَعْضُ أَهْلِ الْعَصْرِ أَنَّهُ إذَا وَقَفَ صَفٌّ قَبْلَ إتْمَامِ مَا أَمَامَهُ لَمْ تَحْصُلْ لَهُ فَضِيلَةُ الْجَمَاعَةِ هَلْ هُوَ مُعْتَمَدٌ أَوْ لاَ فَأَجَابَ بِأَنَّهُ لاَ تَفُوتُهُ فَضِيلَةُ الْجَمَاعَةِ بِوُقُوفِهِ الْمَذْكُورِ وَفِي ابْنِ عَبْدِ الْحَقِّ مَا يُوَافِقُهُ وَعِبَارَتُهُ لَيْسَ مِنْهُ كَمَا يُتَوَهَّمُ صَلاَةُ صَفٍّ لَمْ يَتِمَّ مَا قَبْلَهُ مِنْ الصُّفُوفِ فَلاَ تَفُوْتُ بِذَلِكَ فَضِيلَةُ الْجَمَاعَةِ وَإِنْ فَاتَتْ فَضِيلَةُ الصَّفِّ انْتَهَى وَعَلَيْهِ فَيَكُونُ هَذَا مُسْتَثْنًى مِنْ قَوْلِهِمْ مُخَالَفَةُ السُّنَنِ الْمَطْلُوبَةِ فِي الصَّلاَةِ مِنْ حَيْثُ الْجَمَاعَةُ مَكْرُوهَةٌ مُفَوِّتَةٌ لِلْفَضِيْلَةِ اهـ

أَقِيْمُوْا الصُّفُوْفَ وَحَاذُوْا بَيْنَ الْمَنَاكِيَ وَسَدُّوْا الخَلَلَ، وَلَيِّنُوْا بِأَيْدِيْ إِخْوَانِكُمْ وَلاَ تَذَرُوْا فُرُجَاتِ لِلشَّيْطَانِ، وَ مَنْ وَصَلَ صَفَّا وَصَلَهُ اللَّه وَ مَنْ قَطَعَ صَفَّا قَطَعَهُ اللَّهُ

📔? حاشية البجيرمي على الخطيب الجزء 2 صحـ : 136 مكتبة دار الفكر

وَكُرِهَ لِمَأْمُومٍ انْفِرَادٌ عَنْ صَفٍّ مِنْ جِنْسِهِ بَلْ يَدْخُلُ الصَّفَّ إنْ وَجَدَ سَعَةً وَلَهُ أَنْ يَخْرِقَ الصَّفَّ الَّذِي يَلِيْهِ فَمَا فَوْقَهُ إلَيْهَا لِتَقْصِيرِهِمْ بِتَرْكِهَا وَلاَ يَتَقَيَّدُ خَرْقُ الصُّفُوفِ بِصَفَّيْنِ كَمَا زَعَمَهُ بَعْضُهُمْ وَإِنَّمَا يَتَقَيَّدُ بِهِ تَخَطِّي الرِّقَابِ اْلآتِيْ فِي الْجُمُعَةِ فَإِنْ لَمْ يَجِدْ سَعَةً أَحْرَمَ ثُمَّ بَعْدَ إحْرَامِهِ جَرَّ إلَيْهِ شَخْصًا مِنْ الصَّفِّ لِيَصْطَفَّ مَعَهُ وَسُنَّ لِمَجْرُوْرِهِ مُسَاعَدَتُهُ قَوْلُهُ ( مُسَاعَدَتُهُ ) أَيْ لِيَنَالَ مَعَهُ فَضْلَ الْمُعَاوَنَةِ عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى مَعَ حُصُولِ ثَوَابِ صَفِّهِ الَّذِيْ كَانَ فِيهِ ِلأَنَّهُ لَمْ يَخْرُجْ مِنْهُ إلاَ لِعُذْرٍ اهـ حَجّنهاية المحتاج إلى شرح 

📔. "و" يستحب "تسوية الصفوف والأمر بذلك" لكل أحد "و" وهو "من الإمام" بنفسه أو مأذونه "آكد" للاتباع مع الوعيد على تركها والمراد بها إتمام الأول فالأول وسد الفرج وتحاذي القائمين فيها بحيث لا يتقدم صدر واحد ولا شيء منه على من هو بجنبه ولا يشرع في الصف الثاني حتى يتم الأول، ولا يقف في صف حتى يتم ما قبله، فإن خولف في شيء من ذلك كره أخذًا من الخبر الصحيح: "ومن وصل صفًّا وصله الله ومن قطع صفًّا

📔[ابن حجر الهيتمي، المنهاج القويم شرح المقدمة الحضرمية، صفحة ١٦٤]

📔فتح الباري بشرح صحيح البخاري
قوله: ( باب إلزاق المنكب بالمنكب والقدم بالقدم في الصف ) المراد بذلك المبالغة في تعديل الصف وسد خلله ، وقد ورد الأمر بسد خلل الصف والترغيب فيه في أحاديث كثيرة أجمعها حديث ابن عمر عند أبي داود وصححه ابن خزيمة والحاكم ولفظه : " أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال : أقيموا الصفوف وحاذوا بين المناكب وسدوا الخلل ولا تذروا فرجات للشيطان، ومن وصل صفا وصله الله، ومن قطع صفا قطعه الله " . قوله: ( وقال النعمان بن بشير ) هذا طرف من حديث أخرجه أبو داود وصححه ابن خزيمة من رواية أبي القاسم الجدلي واسمه حسين بن الحارث قال: سمعت النعمان بن بشير يقول: أقبل رسول الله صلى الله عليه وسلم على الناس بوجهه فقال: " أقيموا صفوفكم ثلاثا، والله لتقيمن صفوفكم أو ليخالفن الله بين قلوبكم. قال: فلقد رأيت الرجل منا يلزق منكبه بمنكب صاحبه وكعبه بكعبه " واستدل بحديث النعمان هذا على أن المراد بالكعب في آية الوضوء العظم الناتئ في جانبي الرجل - وهو عند ملتقى الساق والقدم - وهو الذي يمكن أن يلزق بالذي بجنبه، خلافا لمن ذهب أن المراد بالكعب مؤخر القدم، وهو قول شاذ ينسب إلى بعض الحنفية ولم يثبته محققوهم وأثبته بعضهم في مسألة الحج لا الوضوء، وأنكر الأصمعي قول من زعم أن الكعب في ظهر القدم.

📔والأصل في تسوية الصفوف ما روى أن النبي صلى الله عليه وسلم قال تسوية الصفوف من تمام الصلاة.

📔وما روى أنه عليه السلام، قال: سووا الصفوف وسدوا الفروج، فإني أراكم خلفي كما أراكم أمامي.
كان عليه السلام مخصوصا بالرؤية في الصلاة من الجوانب الأربعة، ولهذا قال عليه السلام قرة عيني في الصلاة.

وروى أنه قال: لتسون الصفوف، أو ليخالفن الله بين قلوبكم.

وروى أنه قال: تراصوا بينكم في الصلاة، لا يتخللكم الشيطان.

كأنها جاءت حذف، والحذف، صغار الغنم.

📔قال الراوي: فكنا نلصق الكعب بالكعب، والمنكب بالمنكب، والركبة بالركبة.

[القاضي الحسين، التعليقة للقاضي حسين، ٧٢٨/٢ - ٧٢٧]

📔22263 حَدَّثَنَا هَاشِمٌ ، حَدَّثَنَافَرَجٌ ، حَدَّثَنَا لُقْمَانُ ، عَنْ أَبِي أُمَامَةَ ، قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : " إِنَّ اللَّهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى الصَّفِّ الْأَوَّلِ ". قَالُوا : يَا رَسُولَ اللَّهِ، وَعَلَى الثَّانِي ؟ قَالَ : " إِنَّ اللَّهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى الصَّفِّ الْأَوَّلِ ". قَالُوا : يَا رَسُولَ اللَّهِ، وَعَلَى الثَّانِي ؟ قَالَ : " إِنَّ اللَّهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى الصَّفِّ الْأَوَّلِ ". قَالُوا : يَا رَسُولَ اللَّهِ، وَعَلَى الثَّانِي ؟ قَالَ : " وَعَلَى الثَّانِي ". وَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : " سَوُّوا صُفُوفَكُمْ، وَحَاذُوا بَيْنَ مَنَاكِبِكُمْ،وَلِينُوا فِي أَيْدِي إِخْوَانِكُمْ، وَسُدُّوا الْخَلَلَ ؛ فَإِنَّ الشَّيْطَانَ يَدْخُلُ فِيمَا بَيْنَكُمْ بِمَنْزِلَةِ الْحَذَفِ ". يَعْنِي أَوْلَادَ الضَّأْنِ الصِّغَارَ.

[ والله اعلم بالصواب]

Diskusihukumfiqh212.blogspot.com

MEMAKAI CELAK SAAT PUASA

KESIMPULAN TEAM DHF HUKUM MEMAKAI CELAK MATA SAAT BERPUASA ----------------------------- 📝 PERTANYAAN: assalamu'alaikum Bagaimana ...